Wednesday, July 29, 2015

Hukum Laki-Laki Memakai Cincin Batu Akik

cincin baku akik
Pria dibolehkan memakai batu cincin batu akik selama memenuhi persyaratan tertentu.


TANYA: Apa hukumnya pria mengenakan cincin batu akik?

JAWAB:
Laki-laki boleh memakai cincin batu akik, dengan syarat bukan untuk syuhrah (bermegah-megahan dan takabur), tidak berlapiskan emas, tidak meyakini cintin itu punya kekuatan, jimat atau azimat (baca: Hukum Menyimpan Azimat), serta tidak dikenakan di jari tengah ataupun jari telunjuk (makruh).

Dalam Shahihain disebutkan Nabi Muhammad Saw mengenakan cincin perak dengan mata cintin dari baku akik.

Rasulullah Saw pada suatu kesempatan memakai cincin yang matanya dari perak dan pada waktu lain memakain cincin yang matanya dari batu Habasyi. Sedang dalam riwayat lain dari akik.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al- Minhaj Syarh Shahih Muslim).

Menurut Imam Syafi’i hukum memakai batu mulia atau batu akik seperti batu yaqut, zamrud, dan lainnya adalah mubah sepanjang tidak untuk berlebih-lebihan dan menyombongkan diri (Muhammad Idris asy-Syafi’i, al-Umm).

Larangan Memakai Cincin di Jari Tengah dan Telunjuk
Ali bin Abi Thalib ra berkata, "Rasulullah Saw pernah berkata kepadaku, "Wahai Ali, mintalah hidayah dan jalan yang yang lurus kepada Allah. Beliau juga bersabda agar aku jangan memakai cincin di jari ini dan ini.' Lalu Ali mensyaratkan jari telunjuk dan tengahnya" (Shahih, HR Ibnu Majah).

Siti Aisyah, isteri Rasulullah Saw, meriwayatkan, Rasulullah melarang umatnya memakai cincin pada jari tengah karena hal itu menyerupai kaum Nabi Luth a.s. Kita tahu, kaum Nabi Luth mempraktikkan perilaku seks menyimpang. Masa kini, jari tengah juga simbol cabul, jorok, yang mengarah pada pornoisme. Wallahu a'lam bish-shawabi.*

Monday, July 27, 2015

Haruskah Baca Surat Al-Quran Pendek Tiap Rakaat Shalat?

Al-Quran
Haruskah Baca Surat Al-Quran Pendek Tiap Rakaat Shalat?

TANYA: Mau tanya kalau dalam shalat, membaca Al-Quran surat pendek itu di tiap raka'at atau cuma rakaat pertama dan kedua saja?

JAWAB: Mayoritas ulama berpendapat, membaca ayat Al-Quran atau surat setelah membaca Al-Fatihah, merupakan sunat dalam sholat, terutama pada rakaat pertama dan kedua. Jadi, boleh baca boleh juga tidak.

Demikian juga dengan membaca surat pada rakaat ketiga dan keempat –disunahkan (M. Hasbie Ashidiqie dalam buku Buku Pedoman Sholat).

Artinya, disunahkan membaca surat pendek atau ayat Quran lain setelah QS Fatihah pada tiap rakaat shalat, seperti biasa dipraktikkan dalam shalat tarawih bulan Ramadhan.

Menurut, Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah), yang wajib adalah membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat.

Di samping itu, disunnahkan pula membaca ayat Al-Qur’an sesudah Al-Fatihah pada rakaat kesatu dan kedua saja.

Kesimpulan
Membaca Surat Pendek Tiap Rakaat Shalat itu Tidak Harus (Tidak Wajib).  Membaca surat pendek itu hukumnya sunah dan boleh dibaca tiap rakaat atau pun rakaat pertama dan kedua saja. Wallahu a’lam bis-shawabi. (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*

Hukum Bisnis Valas dan Perdagangan Berjangka

Bisnis Valas dan Perdagangan Berjangka
Bisnis Saham Valas, Forex, dan Perdagangan Berjangka dalam Perspektif Hukum Islam.

TANYA: Apa hukumnya perdagangan berjangka, seperti perdagangan valuta asing (valas), saham, dan emas dalam bentuk kontrak berjangka? Apakah dalam zaman Rasulullah Saw perdagangan seperti itu ada? Terus uang yang dihasilkan dari perdagangan berjangka seperti apa hukumnya?

 JAWAB: Semua perdagangan, usaha, atau jenis bisnis itu halal, kecuali yang mengadung:
  1. Riba (bunga)
  2. Gharar (ketidakjelasan, manipulasi,penipuan, tidak pasti)
  3. Maysir (perjudian, gambling, spekulatif). 
Jadi, secara umum, jika perdagangan berjangka itu memenuhi salah satu atau ketiga unsur tersebut, termasuk dilarang (haram). Uang hasil bisnis yang dilarang tentu saja hukumnya pun haram.

Gharar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjualbelikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan.

Dalam perspektif hukum Islam, perdagangan berjangka termasuk almasa’il almu’ashirah (masalah-masalah hukum Islam kontemporer). Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyah dan potensial memunculkan ikhtilaf (perbedaan pendapat). Untuk amannya, hindari hal-hal yang khilafiyah.

Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan dengan pertukaran antara emas dan perak (sharf) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya. Jadi, bisnis valas mubah (boleh) alias halal.

Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya, misalnya Rupiah kepada Rupiah (IDR) atau US Dolar (USD) kepada Dolar, kecuali sama jumlahnya (contohnya; pecahan kecil ditukarkan pecahan besar asalkan jumlah nominalnya sama).  (Selengkapnya: Hukum Jual Beli Saham & Valas / Forex)


Hukum Jual Beli Saham
Hukum perdagangan saham secara detail dibahas Islamic Fiqih Academy (Majma’ Al-Fiqih Al-Islami), sebuah lembaga pengkajian fikih di bawah Rabithah Al-Alam Al-Islami, sebagaimana dikutip laman Pengusaha Muslim.

Pertama:
Target utama pasar modal/bursa saham adalah menciptakan pasar tetap dan simultan, yang mewujudkan bargaining (tawar-menawar) dan demands (permintaan), serta pertemuan antara para pedagang dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli. Ini satu hal yang baik dan bermanfaat, dapat mencegah para pengusaha yang mengambil kesempatan orang-orang yang lengah atau lugu yang ingin melakukan jual beli tetapi tidak mengetahui harga sesungguhnya, bahkan tidak mengetahui siapa yang mau membeli atau menjual sesuatu kepada mereka.

Akan tetapi, kemaslahatan yang jelas ini, dalam dunia bursa saham tersebut, terselimuti oleh berbagai macam transaksi yang amat berbahaya menurut syariat: perjudian, memanfaatkan ketidaktahuan orang, dan memakan uang orang dengan cara haram. Oleh sebab itu, tidak mungkin ditetapkan hukum umum untuk bursa saham dalam skala besarnya. Namun, yang harus dijelaskan adalah segala jenis transaksi jual beli yang terdapat di dalamnya, secara satu per satu secara terpisah.

Kedua: Bahwa transaksi instan terhadap barang yang ada dalam kepemilikan penjual untuk diserahterimakan–bila dipersyaratkan bahwa harus ada serah terima langsung pada saat transaksi menurut syariat–adalah transaksi yang diperbolehkan, selama transaksi itu bukan terhadap barang yang haram menurut syariat pula. Namun, jika barangnya tidak berada dalam kepemilikan penjual, maka syarat-syarat “jual beli as-salam” harus dipenuhi. Setelah itu, barulah pembeli boleh menjual barang tersebut, meskipun barang tersebut belum dia terima.

Ketiga:
Sesungguhnya, terkait dengan transaksi instan terhadap saham-saham perusahaan dan badan usaha, jika saham-saham itu memang berada dalam kepemilikan penjual maka transaksi semacam itu boleh-boleh saja menurut syariat, selama dasar usaha perusahaan atau badan usaha tersebut tidak haram. Bila dasar usahanya haram, seperti: bank ribawi, perusahaan minuman keras, dan sejenisnya, maka transaksi jual beli saham tersebut menjadi haram.

Keempat: Bahwa transaksi instan maupun berjangka terhadap surat piutang dengan sistem bunga, yang memiliki berbagai macam bentuk, tidaklah diperbolehkan menurut syariat, karena semua itu adalah aktivitas jual beli yang didasari oleh riba yang diharamkan.

Kelima:
Bahwa transaksi berjangka–dengan segala bentuknya–terhadap barang gelap, yakni saham-saham dan barang-barang yang tidak berada dalam kepemilikan penjual dengan cara yang berlaku dalam pasar bursa tidaklah diperbolehkan menurut syariat, karena termasuk menjual barang yang tidak dimiliki. Dengan dasar bahwa ia (penjual, ed.) baru akan membelinya dan menyerahkannya kemudian hari pada saat transaksi. Cara ini dilarang oleh syariat, berdasarkan hadis sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.” Demikian juga, diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang sahih dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menjual barang yang dibeli sebelum pedagang mengangkutnya ke atas punggung kuda mereka (diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, V:191; Abu Daud, no. 3493).

Keenam:
Transaksi berjangka dalam pasar bursa bukanlah “jual beli as-salam” yang diperbolehkan dalam syariat Islam, karena keduanya berbeda dalam dua hal:

1. Dalam bursa saham, harga barang tidak dibayar langsung saat transaksi, namun ditangguhkan pembayarannya sampai penutupan pasar bursa. Sementara, dalam “jual beli as-salam”, harga barang harus dibayar terlebih dahulu dalam transaksi.

2. Dalam pasar bursa, barang transaksi dijual dalam beberapa kali penjualan, saat barang berada dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya, tidak lain hanyalah tetap memegang barang itu atau menjualnya dengan harga maksimal kepada para pembeli dan pedagang lain, bukan secara sungguhan; secara spekulatif melihat untung-ruginya, persis seperti perjudian. Padahal, dalam “jual beli as-salam”, pelaku transaksi tidak diperbolehkan untuk menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya. Wallahu a’lam bish-shawabi. (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*

Wednesday, July 22, 2015

Waktu Puasa Syawal, Harus Berturut-Turut Enam Hari?

puasa syawal
Apakah Puasa Sunah Bulan Syawal Harus Berturut-Turut Enam Hari?

TANYA: Assalamu'alaikum.... Apakah puasa sunah Syawal harus dikerjakan berturut-turut, tanggal 2 sampai 7 Syawal?

JAWAB: Wa'alaikum salam wr. wb. Tidak harus. Namun, Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan, para ulama madzhab Syafi’i mengatakan, paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Jika puasa sunah Syawal tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal, maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa Syawal.

Tidak ada dalil yang mengharuskan puasa sunah Syawal dilakukan berturut-turut. Pokoknya, puasa sunah di bulan Syawal selama enam kali (enam hari).

Dari keterangan Imam Nawawi di atas, maka dapat disimpulkan, puasa sunah bulan Syawal boleh dilakukan di pertengahan atau di akhir bulan Syawwal.

Sebagian ulama memperbolehkan tidak harus berturut-turut enam hari, namun pahalanya sama dengan yang melaksanakannya secara langsung setelah Hari Raya.

"Barang siapa berpuasa Ramadhan dan meneruskannya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, berarti dia telah berpuasa satu tahun." (HR. Imam Muslim dan Abu Dawud). Dan masih hadits yang sama dengan perawi lain. (HR. Ibn Majah).

Harap diperhatikan juga, jumhur ulama menyatakan, jika punya utang puasa Ramadhan yang harus diqodho, maka lakukan dulu puasa qodho, karena itu puasa wajib, baru lakukan puasa sunah Syawal alias "nyawalan". Wallahu a'lam bish-shawabi. (http://inilahrisalahislam.blogspot.com/).*

Wednesday, July 15, 2015

Hukum Malam Takbiran - Takbir Menjelang Idul Fitri

takbir allahu akbar
TANYA: Apa Hukumnya "Malam Takbiran", yaitu Takbir bersama-sama di masjid pada malam menjelang Idul Fitri juga Idul Adha? Apakah ada contohnya (sunah) dari Rasulullah Saw atau para sahabat?

JAWAB:
Takbir adalah kalimah thayibah "Allahu Akbar" (اَللّهُ اَكْبَرُ ) yang artinya "Allah Mahabesar" atau "Allah Mahaagung".


"Malam Takbiran" adalah masalah khilafiyah. Ada beda pendapat di kalangan ulama antara boleh dan tidak boleh.

Malam takbiran merupakan "tradisi" kaum Muslim (khususnya umat Islam Indonesia) dengan niat untuk syi'ar Islam (dakwah).

Namun, An-Nawawi as-Syafi'i dalam Al Majmu 5/48 mengatakan: “Pendapat mayoritas ulama adalah tidak ada takbiran saat malam Ied, takbiran hanya dilakukan saat berangkat menuju tempat shalat Id”.

Contoh dari Nabi Saw, "takbiran" atau mengumandangkan gema takbir dilakukan dalam perjalanan menuju tempat shalat Id, bukan malam hari sebelum hari lebaran.


Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw keluar rumah menuju lapangan, kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621).
 
Takbir Akhir Ramadhan: Perintah Allah SWT
Yang pasti, mengagungkan Asma Allah (takbir) usai Ramadhan diperintahkan dalam Al-Quran:

"Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Ayat ini menjelaskan, ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah SWT dengan bertakbir. 
 
Atas dasar ayat tersebut sebagian ulama membolehkan takbiran di masjid atau mushola yang kita kenal dengan nama "malam takbiran".

Dalam tafsir Al-Jami` Li Ahkamil Quran karya Al-Qurthubi jilid 2 halaman 302 disebutkan bahwa ayat ini telah menjadi dasar masyru`iyah atas ibadah takbir di malam `Id, terutama `Idul Fithri.
Dalam Fiqhul-Islam wa Adillatuh karya Prof. DR. Wahbah Zuhayli ditegaskan: "Jumhur ulama berpendapat: disunnahkan bahkan bertakbir dengan nyaring di mana pun, di rumah, di pasar, di jalan-jalan, di masjid ketika menjelang dilaksanakannya salat id." Wallahu a'lam bish-showabi. (Dari berbagai sumber, http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*

Sunday, July 12, 2015

Ucapan Selamat Idul Fitri Sesuai Sunnah Rasulullah Saw

Ucapan Selamat Idul Fitri Sesuai Sunnah Rasulullah Saw dan Para Sahabat

Taqobbalalloohu minnaa waminkum
BAGAIMANA ucapan selamat lebaran atau selamat Idul Fitri yang sesuai dengan sunnah Rasul? Menurut berbagai hadits, ucapan yang biasa dikemukakan para sahabat adalah Taqobbalalloohu minnaa waminkum yang artinya "semoga Allah menerima ibadah kita".

Maka, karena itu sebuah doa, saat kita menerima ucapan tersebut saat lebaran/Idul Fitri, maka jawaban yang tepat adalah bukan "sama-sama", tapi "amin" atau "taqobbal ya karim" (terimalah doa kami Wahai Dzat Yang Mahamulia).

Dari Jubair bin Nufair, ia berkata, bahwa jika para sahabat Rasulullah Saw berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).”

Disebutkan dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, "Diriwayatkan kepada kami dalam Al-Muhamiliyat dengan sanad yang baik dari Jubair bin Nufair berkata: dahulu para sahabat Rasulullah Saw apabila mereka bertemu pada hari raya sebagian mengucapkan kepada sebagian lain "Taqabbalawahu minna waminkum".
id mubarak - lebaran penuh berkah
Ibnu Taimiyah ditanya dalam Majmu Fatawa (24/253): apakah ucapan selamat hari raya yang biasa diucapkan orang-orang : Ied Mubarak (hari raya yang diberkahi), dan semacamnya, apakah ada dasarnya dalam syariat atau tidak?

Maka beliau menjawab : adapun ucapan selamat hari raya dimana sebagian orang mengucapkan kepada sebagian lain apabila bertemu setelah sholat Id : Taqabbalallahu minna waminkum, dan semoga Allah menyampaikanmu tahun depan, dan semacam itu, maka ini telah diriwayatkan oleh sebagian sahabat bahwa dahulu mereka melakukannya, dan dibolehkan sebagian Imam seperti Ahmad dan lainnya, tetapi Ahmad berkata : aku tidak mau memulainya lebih dahulu, namun jika seseorang mengucapkannya kepadaku maka aku menjawabnya, karena itu jawaban ucapan selamat yang hukumnya wajib.

Mengucapkan selamat terlebih dahulu bukan merupakan sunah yang diperintahkan, dan juga bukan termasuk yang dilarang, barangsiapa yang mengerjakannya maka dia memiliki panutannya, dan siapa yang meninggalkannya maka diapun memiliki panutannya. 

Demikianlah Ucapan Selamat Idul Fitri Sesuai Sunnah Rasulullah Saw dan Para Sahabat. Kalaupun ada ucapan lain, seperti Mohon Maaf Lahir Batin & Minal 'Aizin wal Faizin (yang artinya semoga kita termasuk golongan yang kemnali dan menang), maka menurut jumhur ulama tidak ada perintah juga tidak ada larangan alias mubah (boleh). Wallahu A'lam Bish Shawabi. (Dari berbagai sumber/http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*

Thursday, July 9, 2015

Hukum Ucapan Selamat Idul Fitri

Hukum Ucapan Selamat Idul Fitri
TANYA: Bagaimana hukumnya mengucapkan selamat Lebaran atau Selamat Idul Fitri? Apakah dibolehkan dalam Islam?

JAWAB: Karena tidak ada perintah, juga tidak ada larangan, maka hukum Hukum Ucapan Selamat Idul Fitri, adalah MUBAH (Boleh). Hal ini berdasarkan riwayat bahwa masyarakat pada zaman Sahabat dan Tabi'in yang saling mendoakan (mengucapkan doa) “Taqabalallaahu minna wa minka” atau “Taqabalallaahu minna wa minkum” seperti diriwayatkan oleh Jubair bin Nafir ra.

Ibnu Hajar mengatakan, “Dari Jubair bin Nufair; beliau mengatakan, ‘Dahulu, apabila para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertemu pada hari raya, mereka saling mengucapkan, ‘Taqabbalallahu minna wa minkum.”” (Fathul Bari)

Ibnu Aqil menyebutkan beberapa riwayat. Di antaranya dari Muhammad bin Ziyad; beliau mengatakan, “Saya pernah bersama Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhudan beberapa sahabat lainnya. Setelah pulang dari shalat id, mereka saling memberikan ucapan, ‘Taqabbalallahu minna wa minkum.’” (Al-Mughni, As-Suyuthi).

Imam Malik ditanya tentang ucapan seseorang kepada temannya di hari raya, “Taqabbalallahu minna wa minkum,” atau, “Ghafarallahu lana wa laka.” Beliau menjawab, “Saya tidak mengenalnya dan tidak mengingkarinya.” (At-Taj wal Iklil).

Dengan demikian, ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Batin, Minal 'Aidin wal Faizin, adalah BOLEH, meskipun yang ada contohnya hanyalah ucapan Taqobbalalloohu minnaa wa minkum yang artinya semoga Allah menerima ibadah kita semua. (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*

Sumber:
http://konsultasisyariah.com, ucapan-selamat-idul-fitri
http://pesantrenvirtual.com, Hukum Ucapan Selamat Idul Fitri
http://muslimah.or.id, ucapan-selamat-di-hari-raya

Tuesday, July 7, 2015

Di Mana Sebaiknya Membayar Zakat Fitrah?

zakat fitrah
TANYA: Di mana kita sebaiknya membayar zakat fitrah? Apakah bagusnya dibayarkan di tempat kerja, tempat tinggal (sekitar rumah), di kampung halaman, atau di mana?
 

JAWAB: Tidak ada nash atau dalil yang menyebutkan zakat fitrah harus dibayar di mana. Tidak ada juga dalil yang mengharuskan setiap Muslim zakat fitrah di tempat tinggal sekarang, di kampung, atau negara asal.

Pembayaran zakat fitrah dapat dilakukan di mana saja, selama dilakukan dengan tata cara yang benar serta disalurkan kepada orang yang benar-benar berhak untuk menerimanya (fakir-miskin).


Zakat Fitrah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap ummat Islam yang lahir di dunia secara perseorangan, mulai dari bayi yang baru lahir hingga orang yang sudah tua renta yang dilaksanakan menjelang Iedul Fitri di bulan Ramadan.

Hadits-hadits tentang Zakat Fitrah hanya menegaskan keharusan bayar zakat fitrah, besaran (jumlah), dan waktunya.

"Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah satu sha' kurma atau gandum pada budak, orang merdeka, lelaki perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari ummat Islam dan memerintahkan untuk membayarnya sebelum mereka keluar untuk salat Ied." (HR Mutafaqun alaih).

Rasulullah Saw memerintahkan agar zakat fitrah diberikan sebelum manusia berangkat untuk salat Ied. (HR Muslim).

Namun demikian, sebagian ulama menganjurkan zakat fitrah ditunaikan di tempat mereka tinggal, kecuali jika penduduk daerah zakat itu tidak memerlukannya (tidak ada mustahik/tidak ada fakir-miskin).

Menurut Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, hendaknya zakat diberikan di tempat mereka tinggal. Hal itu berdasarkan hadits: ”Ambillah zakat dari orang-orang kaya mereka dan berikanlah kepada orang-orang fakir di antara mereka”. (HR. Bukhori)

Kalau ada seorang yang mencari rezekinya di negeri orang, sebaiknya menunaikan zakat di tempat mereka bekerja.

Mazhab hanafi, Syafii, Maliki dan Hanbali menjelaskan zakat harus dibagikan di tempat harta kekayaan diambil.
Berdasarkan Fatwa Simposim Yayasan Zakat Internasional II Tentang Zakat Kontemporer di Kuwait  tahun 1989, pada dasarnya penyaluran zakat dilakukan kepada mustahik di tempat pemungutannya sendiri, kemudian baru ditransfer ke luar daerah pemungutan bila masih terdapat kelebihan, kecuali dalam masa-masa paceklik dan bencana yang dapat ditransfer sesuai urutan prioritas yang paling membutuhkan. Wallahu a'lam bish-showabi. (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*

Saturday, July 4, 2015

Pengertian & Tatacara I'tikaf Ramadhan

 I'tikaf Ramadhan
I'tikaf adalah cara terbaik mendapatkan malam Lailatul Qodar. Tujuan itikaf adalah fokus ibadah guna meraih rahmat dan ampunan Allah SWT di akhir Ramadhan.

I'TIKAF (Arab: اعتكاف ) secara bahasa berarti menetap pada sesuatu, menghalangi diri, atau mengurung diri.

Secara syar’i atau maknawi, i’tikaf berarti menetap atau diam di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat untuk fokus ibadah --shalat, dzikir, membaca Al Qur’an, dll.

Tujuan I'tikaf

Orang yang beri'tikaf disebut Mutakif. I'tikaf bertujuan utama mendapatkan malam Lailatul Qodar dengan fokus beribadah kepada Allah SWT dan menjauhkan diri dari urusan duniawi.

"Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan." (HR. Bukhari dan Muslim)

"Carilah Lailatul Qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Hukum I'tikaf: Sunah 

I’tikaf itu hukumnya sunnah, bukan wajib, kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar (berjanji) untuk melaksanakan i’tikaf.

Syarat i’tikaf adalah brgama Islam (Muslim/Muslimah) yang baligh (dewasa) dan berakal (tidak boleh anak kecil yang belum baligh dan berakal untuk beri’tikaf), berniat i’tikaf, suci dari junub, haid, dan nifas (I’tikaf tanpa wudhu tidak apa-apa tapi dianjurkan dalam keadaan bersuci/wudhu), dan dilakukan di dalam masjid (i'tikaf tidak boleh di luar masjid).

Dalil/Dasar Hukum  I'tikaf


كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
"Nabi Saw  biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. [HR. Bukhari]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan).

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Sesungguhnya Nabi Saw beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” [HR Bukhari & Muslim]

Nabi Saw beri’tikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan dengan tujuan utama untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar, menjauhkan segala kesibukan dunia, dan fokus beribadah,  munajat, do’a, dan  berdzikir.

Waktu I'tikaf

Imam Bukhari membuat judul bab “Bab (anjuran) i’tikaf di sepuluh hari terakhir dan (boleh) i’tikaf di semua masjid“. (Shahih Bukhari).

Dianjurkan untuk memulai i’tikaf di malam tanggal 21 Ramadhan setelah Magrib. Magrib adalah awal permulaan hari dalam sistem kalender Hijriyah.

Lamanya I'tikaf

Menurut mayoritas ulama, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Fiqih Sunnah, tidak ada batasan waktu minimal i’tikaf. Artinya, i'tikaf boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.

Menurut Imam Al-Mardawi, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat)."
  

Rukun I'tikaf

  1. Niat
  2. Dilakukan di masjid, baik masjid besar maupun masjid kecil seperti mushola.
  3. Menetap di masjid.

Pembatal I'tikaf

  1. Hubungan biologis dan segala pengantarnya.
  2. Keluar masjid tanpa kebutuhan.
  3. Haid dan nifas.
  4. Gila atau mabuk.
Selama i'tikaf, seseorang boleh keluar masjid jika ada kebutuhan mendesak, seperti makan, buang hajat, dan hal lain yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.

Demikian panduan praktis ibadah  i'tikaf, pengertian dan tatacara, berdasarkan sunah Rasul. Sumber: Fiqih Sunnah dan Shahihain. Wallahu a'lam bish shawabi. (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*

Friday, July 3, 2015

Bayi Baru Lahir Wajib Zakat Fitrah Juga?

zakat
Zakat fitrah adalah “zakat badan”, bukan zakat harta. Artinya, setiap muslim --yang masih bayi sekalipun-- wajib berzakat fitrah. 


TANYA: Mengapa bayi yang baru lahir diwajibkan untuk dizakati (zakat fitrah), sedangkan menurut Nabi Saw, setiap bayi yang baru lahir itu adalah suci/bebebas dar dosa?

JAWAB: Zakat fitrah bayi yang baru lahir sekadar menjalankan kewajiban perorangan bagi orangtuanya guna membantu fakir-miskin.

Zakat fitrah adalah “zakat badan”, bukan zakat harta. Artinya, setiap muslim --yang masih bayi sekalipun-- tetap dikenakan zakat fitrah. Khusus bagi sang bayi, tentu diwajibkan kepada orang tuanya.

Hikmahnya antara lain agar setiap Muslim yang paling miskin sekalipun, dapat merasakan indahnya kebahagiaan memberi sedekah dan indahnya kebahagiaan bisa berbagi.

Zakat fitrah bertujuan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak berguna dengan untuk memberi makanan pada orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada hari raya.

Abu Hurairah RA, Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan An-Nasai, meriwayatkan, zakat fitrah itu wajib bagi orang-orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki, perempuan, anak-anak, dewasa, fakir, atau kaya.

Memang, ada juga ulama –seperti Said bin Musayyib dan Hasan Basri-- yang berpendapat zakat fitrah itu hanyalah wajib bagi orang yang berpuasa saja, karena tujuan zakat fitrah adalah untuk menyucikan orang yang berpuasa. Sedangkan bayi tidak butuh disucikan karena ia tidak melakukan dosa.

Alasannya, hadis dari Ibnu Abbas riwayat Abu Daud yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw hanya mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari ucapan dan perbuatan kotor. Wallahu a’lam bish-shawabi (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*