Thursday, April 24, 2014

Menguap dan Bersin Menurut Islam

Menguap dan Bersin Menurut Islam
Menguap dan Bersin merupakan “kegiatan rutin” yang biasa kita lakukan. Menguap biasanya karena mengantuk atau capek. Bersin umumnya karena terserang flu atau ada bibit penyakit masuk hidung.

Bagaimana Menguap dan Bersin Menurut Islam?

Berikut ini beberapa hadits Nabi Muhammad Saw tentang menguap dan bersin. Risalah Islam memang agama sempurna. Soal “kecil” ini pun menjadi perhatian sehingga kaum Muslim bisa menjalani hidupnya dengan benar dan diridhai Allah Swt.

MENGUAP
"Menguap adalah dari setan. Karena itu, apabila salah seorang dari kalian menguap, tutuplah serapat mungkin karena ketika salah seorang dari kalian berkata ‘huah’ (pada saat menguap), setan akan menertawakannya." (HR. Bukhari).

"Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Jika seseorang bersin dan mengucapkan alhamdulillah, maka bagi semua muslim yang mendengar hendaknya mengucapkan tasymit (ucapan yarhamukallah). Adapun menguap berasal dari syaitan. Oleh karena itu hendaklah dilawan semampunya dan jika ia katakan, 'aah', maka syaitan pun tertawa." (HR. Bukhari)

Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Jika salah seorang dari kalian menguap, maka hendaklah ia menahan mulutnya dengan tangannya, sebab syaitan akan masuk." (HR Muslim).

Etika Menguap
Dalam Ensiklopedi Adab Islam terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i disebutkan, berdasarkan hadits-hadits di atas, maka etika atau adab seorang Muslim dalam menguap adalah sebagai berikut:

1. Meletakkan tangan di mulut agar mulut tidak terbuka. Saat manusia menguap dengan mulut terbuka itu, ia terlihat buruk dan saat itu juga setan sedang menertawakannya.

2. Tidak mengeluarkan suara ‘aaah ’ atau "huwaaah". yang akan menimbulkan tertawaan setan.

3. Tidak mengangkat suara.Terkadang sebagaian orang jahil mengangkat suaranya ketika meng uap dengan maksud ingin membuat sekelilingnya tertawa. Tentunya setan juga menertawakannya.

BERSIN
 “Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Karenanya apabila salah seorang dari kalian bersin lalu dia memuji Allah, maka kewajiban atas setiap muslim yang mendengarnya untuk mentasymitnya (mengucapkan yarhamukallah). Adapun menguap, maka dia tidaklah datang kecuali dari setan. Karenanya hendaklah menahan menguap semampunya. Jika dia sampai mengucapkan ‘haaah’, maka setan akan menertawainya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  beliau bersabda, “Ababila salah seorang dari kalian bersin, hendaknya dia mengucapkan, “alhamdulillah” sedangkan saudaranya atau temannya hendaklah mengucapkan, “yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu). Jika saudaranya berkata ‘yarhamukallah’ maka hendaknya dia berkata, “yahdikumullah wa yushlih baalakum (Semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki hatimu).” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Bila salah seorang dari kalian bersin lalu memuji Allah maka tasymitlah dia. Tapi bila dia tidak memuji Allah, maka jangan kamu tasymit dia.” (HR. Muslim). Tasymit adalah mengucapkan ‘yarhamukallah’.


 “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersin, beliau menutup wajahnya dengan tangan atau kainnya sambil merendahkan suaranya.” (HR. Abu Daud dan Tirmizi).*

Monday, April 7, 2014

Hukum Tarif Ceramah Ustadz

tarif ceramah ustadz
Assalamu'alaikum.... Bagaimana Hukum Tarif Ceramah Ustadz? Dan sedikit saran nih... Bagaimana kalau ceramah/dakwah para ustadz tarifnya jangan mahal! Soalnya masyarakat mulai sedikit tidak percaya kpada para ustadz. Soalnya banyak yang beranggapan para ustadz hanya cari uang dari dakwah. Mohon tanggapan.

JAWAB: Wa'alaikum salam wr wb. Para ustadz yang memasang tarif mahal jika diundang ceramah, silakan diskusikan dengan manajemen ustadz ybs.

Dakwah itu kewajiban setiap Muslim. Para ustadz (mestinya) tidak perlu dan tidak pernah memasang tarif (honor), seandainya nafkah hidup mereka dijamin dan dipenuhi oleh pemerintah (ulil amri) atau oleh umat Islam melalu dana ZIS (Zakat Infak Sedekah).

Namun demikian, kami juga tidak setuju jika dikatakan para ustadz (penceramah) hanya cari uang dengan berdakwah. Meskipun kita sering dengar, ada ustadz yang tarifnya "sekian juta" sekali ceramah, sampai-sampai ada juga ustadz yang menolak jadi khotib Jumat hanya karena honor khotbahnya kecil.

Yang namanya ulama, kyai, atau ajengan TIDAK AKAN minta bayaran untuk berdakwah. “Bayaran” mereka dari Allah Swt yang tidak ternilai dengan materi. Dakwah kewajiban semua Muslim, utamanya para ulama yang memang pewaris nabi untuk syiar Islam.

Pada zaman Nabi Saw dan para sahabat, para guru agama (ustadz kalau zama sekarang) nafkah hidupnya dijamin oleh Baitul Mal. Semoga di kita pun bisa demikian.

Pada dasarnya, dalam risalah Islam, seseorang yang mengajarkan Al-Quran dan ilmu-ilmu yang bermanfaat berhak mendapatkan upah atas jasanya itu. Seorang guru atau ustadz yang telah berjuang di jalan Allah untuk mengajarkan ilmu-ilmu Islam, pada dasarnya berhak untuk mendapatkan upah atas keringatnya itu, namun jika memasang tarif hingga jutaan rupiah, yang tak sanggup dibayar jamaah, maka bagaimana nasib dakwah Islam?

"Dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa" (QS. Al-Baqarah: 41). Wallahu a’lam.*

Thursday, April 3, 2014

Shalat Subuh Tidak Qunut, Boleh?

Shalat Subuh Tidak Qunut
Kalau sholat subuh ‘nggak pake do'a Qunut apa boleh? Apa hukumnya shalat Subuh tidak Qunut?

JAWAB: Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca doa Qunut dalam shalat subuh, masing-masing dengan dalil hadits, namun pendapat terbanyak: “tidak ada qunut dalam shalat Subuh, kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum”, misalnya ada bencana.

Imam Abu Hanifah mengatakan, qunut itu disunnahkan pada shalat witir yang dilakukan sebelum ruku'. Sedangkan pada shalat subuh, ia tidak menganggapnya sebagai sunnah, sehingga bila seorang makmum shalat Subuh di belakang imam yang melakukan qunut, hendaknya dia diam saja dan tidak mengikuti atau mengamini imam.

Namun Abu Yusuf, salah seorang tokoh dari mazhab Hanafi mengatakan, bila imamnya melakukan qunut, maka makmumnya harus mengikutinya, karena imam itu harus diikuti.

Imam Malik mengatakan, qunut itu merupakan ibadah sunnah pada shalat subuh dan lebih afdhal dilakukan sebelum ruku'. Meskipun bila dilakukan sesudahnya tetap dibolehkan.

Menurutnya, melakukan qunut secara zhahir dibenci untuk dilakukan kecuali hanya pada shalat subuh saja. Qunut itu dilakukan dengan sirr, yaitu tidak mengeraskan suara bacaan. Sehingga baik imam maupun makmum melakukannya masing-masing atau sendiri-sendiri. Dibolehkan untuk mengangkat tangan saat melakukan qunut.

Imam As-Syafi'i ra mengatakan, qunut itu disunnahkan pada shalat subuh dan dilakukan sesudah ruku' pada rakaat kedua. Imam hendaknya berqunut dengan lafaz jama' dengan menjaharkan (mengeraskan) suaranya dengan diamini oleh makmum hingga lafaz (wa qini syarra maa qadhaita).

Setelah itu dibaca secara sirr (tidak dikeraskan) mulai lafaz (Fa innaka taqdhi ...), dengan alasan bahwa lafaz itu bukan doa tapi pujian (tsana`). Disunnahkan pula untuk mengangkat kedua tangan namun tidak disunnahkan untuk mengusap wajah sesudahnya.

Menurut mazhab ini, bila qunut pada shalat shubuh tidak dilaksanakan, maka hendaknya melakukan sujud sahwi, termasuk bila menjadi makmum dan imamnya bermazhab Al-Hanafiyah yang meyakini tidak ada kesunnahan qunut pada shalat subuh. Maka secara sendiri, makmum melakukan sujud sahwi.

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, qunut itu merupakan amaliyah sunnah yang dikerjakan pada shalat witir yaitu dikerjakan setelah ruku. Sedangkan qunut pada shalat subuh tidak dianggap sunnah oleh beliau.

Meski demikian, jika ada imam melakukan qunut pada shalat Subuh, maka para makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad demi menjaga persatuan kaum Muslimin.

Menurut Ibnu Utsaimin, “Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah Saw tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab.”

Para ulama menyebutkan, Rasulullah Saw qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum Muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh, namun dilakukan pada semua shalat wajib.

Dari Anas bin Malik r.a., “Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw melakukan Qunut selama sebulan, beliau mengutuk mereka (kaum yang zhalim), kemudian Nabi meninggalkannya. Adapun pada waktu shalat Shubuh Nabi tetap melakukannya sampai beliau wafat.” (HR. Baihaqi).

Dari Ibnu Mas'ud r.a., "Bahwasanya Nabi SAW pernah melakukan qunut salat Subuh selama sebulan, tetapi kemudian ditinggalkannya."

Abû Mâlik al-asyja’i Sa’ad bin Tharîq berkata: “Aku bertanya kepada bapakku: Wahai bapakku, sungguhkah engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman serta Ali di Kufah ini selama lebih dari lima tahun. Apakah mereka pernah melakukan qunut dalam shalat shubuh? Beliau menjawab: Tidak benar Wahai anakku! Itu perkara baru (bid’ah). (HR. Ibnu Mâjah dan dishahîhkan Al-Albâni dalam Irwâ’ al-Ghalîl No. 435). Wallahu a’lam.*

Ciri-Ciri Aliran Sesat dalam Islam

Karakteristik atau ciri-ciri "termudah dikenali" sebuah aliran sesat atau kelompok ‘Islam sempalan’ ialah mereka memiliki pemahaman dan praktek ibadah yang berbeda dengan kebanyakan umat Islam. Ciri utama aliran sesat lainnya adalah mengklaim paling benar dan menyalahkan bahkan mengkafirkan orang di luar kelompoknya.

Eksistensi aliran sesat yang muncul dari dalam tubuh umat Islam sudah disinyalir dalam Al-Quran:

 "Barangsiapa yang menyimpang dari rasul setelah terang padanya petunjuk itu, dan mengikuti jalannya selain kaum mukminin, Kami akan gabungkan dia dengan orang-orang sesat dan Kami masukkan dia ke neraka Jahannam" (QS. An-Nissa:115).

"Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (syubhat dan hawa nafsu), nescaya bila kamu ikut jalan-jalan itu akan menyimpangkan kalian dari jalan Allah" (QS. Al-An'am:153).

Menyeleweng dari jalan Islam itu bererti menyimpang pula dari Al-Jamaah, keluar dari jamaah Islam, dan sekarang ini orang mengistilahkan dengan ‘Islam sempalan’ atau aliran sesaat, yakni aliran pemahaman Islam yang sesat dan menyesatkan.

Ciri-Ciri Aliran Sesat

Penilaian termudah terhadap kelompok ‘Islam sempalan’ ialah mereka memiliki pemahaman dan praktek ibadah yang berbeda dengan kebanyakan umat Islam. Ciri utama lainnya adalah mengklaim paling benar dan menyalahkan bahkan mengkafirkan orang di luar kelompoknya.

Umat Islam yang masih awam pengetahuan dan pemahaman keislaman dan keumatannya sering dibuat bingung dengan kemunculan tokoh, gerakan, atau kelompok yang memiliki pemahaman dan praktek ibadah yang berbeda dengan kebanyakan umat Islam lainnya. Misalnya, kiblatnya bukan ke Ka’bah, tidak mau sholat berjamaah dengan orang yang bukan anggota kelompoknya, menganggap orang luar jamaahnya kafir (bukan Islam), memiliki imam, pemimpin, khalifah, atau wali tersendiri, dan masih banyak lagi.

Ada juga –mungkin banyak— kelompok sempalan yang memungut uang dari anggotanya, dikenal dengan ‘uang hijrah’. Kelompok ini bahkan dianggap “UUD” –Ujung-Ujungnya Duit. Lebih parah lagi, kelompok ini kemudian mendoktrin anggotanya, seperti anjuran mencuri barang orang lain selain anggota kelompoknya, bahkan mengkafirkan orang tua.

Jika ditelaah, kelompok sempalan atau aliran sesat umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut:

Pertama, memiliki pemahaman dan praktek ibadah yang berbeda dari kebanyakan umat Islam atau melakukan pemikiran dan perbuatan bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru dalam ibadah atau beragama).

Kedua, pemahaman dan praktek keagamaan yang lain daripada yang lain itu biasanya dimulai di level pengajian-pengajian, majelis taklim, atau ‘pengajian kecil’ yang dilakukan secara tertutup, bahkan pada waktu-waktu tertentu, misalnya tengah malam.

Ketiga, menganggap kelompoknya paling benar dan menyalahkan bahkan mengkafirkan orang lain.

Keempat, memiliki pemimpin yang dianggap sebagai ‘imam’, lalu ada pemimpin-pemimpin berjenjang di bawahnya. Tidak jarang sang imam ini dianggap ‘orang suci’ atau wali yang sangat dekat dengan Allah.

Kelima, tidak sedikit yang menjadikan ayat, hadits, dan ‘Islam’ sebagai kedok belaka untuk kepentingan duniawi, seperti bisnis, politik-ekonomu, status sosial, atau hal material lainnya.

Keenam, tidak jarang kelompok ‘Islam sempalan’ ini merupakan rekayasa pihak luar Islam, atau setidaknya didukung penuh oleh kaum kuffar dan munafiqin, untuk menghancurkan citra Islam.

Umumnya orang terjerumus atau masuk ke dalam kelompok sempalan/aliran sesat adalah mereka yang sangat awam dalam pemahaman Islam, mencari ketenangan batin sehingga menjadikan kelompok itu sebagai pelarian dari masalah hidupnya, atau sekadar ingin ‘tampil beda’.

Dengan kata lain, berangkat dari kurangnya pemahaman terhadap Islam membuat seseorang bisa terjerumus ke dalam sebuah kelompok sempalan. Kelemahan itulah yang biasanya dimanfaatkan para pemimpin atau aktivis sempalan agar kaum muslimin mau masuk dan bergabung ke dalam kelompok yang dibuatnya. Dengan berkedok sebagai kelompok Islam yang paling benar dan memainkan ayat-ayat suci Al-Quran, mereka melancarkan doktrinasinya untuk bisa mempengaruhi.

Ulama Benteng Akidah Umat

Para ulama sebagai pewaris para nabi (waratsatul ambiya) kita harapkan cepat bertindak, meluruskan pemahaman yang sesat dan tanpa dasar nash, lalu membentengi umat Islam dari pengaruh pemahaman yang salah itu.

Kita yakin, dengan integritas keilmuan dan wawasan keagamannya, plus sifatnya yang ‘hanya takut kepada Allah SWT’, para ulama dapat bertindak bijak dengan bimbingan Allah, untuk membuat kelompok aliran sempalan kembali ke pangkuan jamaah Islam.

Kita juga berharap, para ulama atau tokoh Islam dapat lebih berkonsentrasi dalam membina umatnya, agar tidak terjebak ke dalam aliran sempalan yang tampaknya sulit dibendung itu. Energi para ulama yang kini banyak tersedot ke dalam ‘politik ptaktis’, membuat mereka ‘kurang tenaga’ untuk membina iman dan takwa umat yang menjadi tanggung jawab utamanya.


Kehadiran kelompok sempalan/aliran sesat harus pula diambil hikmahnya. Antara lain, hal itu membuktikan masih banyaknya umat Islam yang awam tentang agamanya, juga tidak sedikit umat Islam yang ternyata tidak terbina dan merasa tidak nyaman berada dalam keluarga besar umat Islam (jamaah Islamiyah), sehingga mereka harus ‘menyempal’ dari jamaah Islam, lalu terjebak pada kelompok sesat dan menyesatkan. Wallahu a’lam bish-shawabi.*