JANGAN merasa bangga dan merasa terhormat dengan kekayaan, ketampanan, kecantikan, pangkat, jabatan, atau kedudukan tinggi, karena semua itu tidak dilihat oleh Allah SWT.
Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh jenis pekerjaan, kekayaan, atau pangkat, namun oleh iman, amal saleh, akhlak, dan ketakwaannya.
Apalagi, kekayaan, keelokan rupa, dan pangkat-jabatan dapat membuat manusia takabur (sombong), angkuh, dan memandang rendah orang lain yang dilarang Islam.
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat takabur walalaupun hanya sebesar biji sawi”(HR. Muslim). “Takabbur adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain” (HR. Muslim).
Allah SWT menegaskan, manusia paling mulia adalah yang paling bertakwa kepada-Nya. "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa" (QS:Al Hujurat:13).
Allah SWT pun tidak memandang rupa dan harta, tapi melihat hati dan amal kita. “Sungguh Allah tidaklah melihat kepada rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat hati dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim).
“Kemuliaan seseorang adalah pada agamanya, harga dirinya adalah akalnya, sedangkan ketinggian kedudukannya adalah ahlaknya. (HR.Ahmad).
“Tidak ada keutamaan orang Arab atas orang selainnya dan tidak pula da keistimewaan atas orang Non Arab atas orang Arab. Tidaklah ada keutamaan antara orang berkulit merah dengan orang berkulit hitam, dan tidak pula ada keutamaan orang berkulit hitam dengan orang berkulit merah, kecuali ketakwaan.” (HR. Ahmad).
Nabi Saw pernah berkata kepada Abu Dzar Al-Ghifari: “Perhatikanlah…! Engkau tidaklah lebih baik dari orang berkulit merah atau yang berkulit hitam kecuali bila engkau mengunggulinya dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad).
Ibnu Taimiyyah berkata: “Keutamaan yang hakiki adalah berasal dari ittiba’ kepada risalah yang Allah utus Muhammad dengannya berupa iman dan ilmunya baik secara lisan maupun batin. Setiap manusia yang iman dan ilmunya lebih mapan, maka dia lebih utama.”
Selain itu, derajat kemuliaan seseorang juga dapat dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain. “Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling bermamfaat bagi manusia lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
TIDAK sedikit orang kaya justru ternyata hina-dina, karena kekayaannya didapatkan secara tidak halal, korupsi misalnya, atau menggunakan hartanya tidak di jalan Allah SWT, bahkan digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.
Seorang mukmin yang baik, akan mendapatkan kekayaan dengan cara halal, lalu mengeluarkan zakatnya diiringi infak dan sedekah untuk membersihkan hartanya dari hak orang lain, menunjukkan rasa syukur kepada Allah, serta menggunakan hartanya sebagai sarana beribadah kepada-Nya. Dengan begitu, hartanya menunjang kemuliaan di sisi Allah karena iman dan amal salehnyadengan hartanya tersebut.
Tidak sedikit orang berpangkat tinggi, berkedudukan terpandang, atau menjadi pejabat negara --dengan gaji dan fasilitas dari uang negara atau uang rakyat tentunya, namun ia ternyata hina-dina kerena menyalahgunakan kekuasaan, korup, atau tidak menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara yang harus melayani dan menyejahterakan rakyatnya.
Sebaliknya, jika ia seorang mukmin yang berian dan bertakwa, ia akan melaksanakan amanah itu dengan baik, melayani rakyat (bukan malah minta dilayani) dan menyejahterakan rakyat.
Dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya, jabatan yang ia emban pun menunjang kemuliaanya karena iman dan takwanya membuat dia menjadi pejabat yang amanah.
Jadi jelas, kemuliaan itu sumbernya dari dalam diri, yakni iman, takwa, atau akhlak. Bukan dari tampak luar. Wallahu a’lam bish-shawabi.*