Monday, August 15, 2016

Apa Sebenarnya Wahabi?

Pengertian Wahabi yang Sebenarnya dalam Islam
Pengertian Wahabi yang Sebenarnya dalam Islam.

TANYA: Aliran Wahabi sering disebut-sebut sebagai aliran radikal, benarkah demikian? Mengapa? Siapa sebenarnya Wahabi?

JAWAB: Radikal secara harfiyah artinya “akar” atau “hal paling mendasar”. Akar atau fondasi Islam itu Quran dan Hadits.

Wahabi disebut radikal karena berpegang-teguh pada “akar Islam” itu, yakni memurnikan pemahaman dan pengamalan Islam, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya.

Wahabi adalah julukan bagi pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, ulama yang dulu mendirikan Kerajaan Arab Saudi bersama Pangeran Muhammad bin Saud.

Ibnu Wahab ini dikenal sebagai mujahid yang berusaha membersihkan pemahaman dan pengamalan Islam dari unsur-unsur luar Islam, termasuk memberantas bid'ah, khurafat, dan tahayul di kalangan umat Islam.


Saat itu Abdul Wahab menilai, kemunduran umat Islam terjadi karena mereka sudah jauh dari Islam yang murni, yakni praktik ibadahnya sudah bercampur dengam hal-hal berbau bid’ah, khurafat, dan tahayul yang tidak ada ajarannya dalam Islam.
Muhammad bin Abdul Wahhab (1701 - 1793 M) lahir di Kampung Ainiyah, Najd, Arab Saudi. Beliau berasal dari kabilah Bani Tamim. Buku beliau bertajuk 'Kitab al-Tauhid'. Para murid dan pendukungnya disebut Wahabi.

Para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab sendiri menolak disebut Wahabi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad Saw, bukan ajaran tersendiri.

Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis --generasi terdahulu-- atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".

Muhammad bin Abdul Wahhab dulu memberantas khurafat seperti menganggap “keramat” makam para ulama yang dinilai berbahaya bagi tauhid umat. Sikap tegas dan tanpa kompromi dalam masalah akidah membuat ia dikenai banyak tuduhan atau fitnah.

Abdul Wahab wafat tanggal 29 Syawal 1206 H/1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).

Jika sekarang ada orang yang suka mencap "Wahabi" kepada orang lain, biasanya orang tersebut adalah orang yang tidak suka dengan ajaran Muhammad Ibnu Wahab yang memberantas bid'ah, khurafat, dan tahayul.

Demikian catatan singkat tentang Wahabi atau Abdul Wahab berdasarkan sumber-sumber yang kami miliki dan yakini kebenarannya. Wallahu a’lam bish-shawabi. (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*

Thursday, August 11, 2016

Solusi Kredit Syariah untuk Hindari Riba

Solusi Kredit Syariah untuk Hindari Riba
TANYA: Saya sudah membaca masalah riba, kredit, dan leasing. Bila itu semua adalah haram, maka saya minta beri solusi, contoh nyata di Indonesia, bagaimana caranya mendapatkan motor atau rumah, karena uang saya tdk cukup untuk membeli secara cash.

JAWAB: Gunakan jasa kredit syariah atau jasa perbankan syariah. Itu solusinya. Pada prinsipnya, jual beli dengan kredit itu boleh, namun  tergantung akadnya.

Jika menggunakan transaksi yang dibenarkan oleh syariat Islam, maka itu bukan termasuk riba.  

Kredit syariah mempunyai cara yang sangat sangat berbeda dengan kredit konvesional. Prinsipnya kredit syariah menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemanusiaan serta bebas dari riba.

Seperti dilansir Republika Online, pada bank konvensional, kredit yang digunakan berdasarkan akad pinjaman. Nasabah memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut beserta bunganya.

Secara syariah, kelebihan atas pinjaman ini termasuk ke dalam kategori riba, dimana Allah SWT secara tegas telah mengharamkannya (QS 2 : 275-281).

Dalam praktik perbankan syariah atau kredit syariah, biasanya yang digunakan adalah
  •  Akad murabahah (jual beli)
  • Ijarah wa iqtina (sewa yang diakhiri oleh perubahan kepemilikan dari pemilik barang kepada penyewa)
  • Musyarakah mutanaqishah

Pada murabahah, bank bertindak sebagai penjual barang, sedangkan nasabah adalah pembelinya. Bank dan nasabah kemudian bersepakat untuk menentukan berapa besar marjin keuntungan yang dapat dinikmati oleh bank sebagai penjual. Katakan, “x persen”.

Maka kewajiban nasabah adalah membayar kepada bank, biaya pokok pembelian plus marjin keuntungannya. Misal harga rumah Rp 1 milyar, dan marjin keuntungannya 10 persen. Maka kewajiban nasabah adalah Rp 1,1 milyar. Secara matematis mirip dengan bunga bank, tetapi secara akad berbeda sangat signifikan.

Ijarah adalah akad sewa. Nasabah diharuskan membayar biaya sewa secara berkala kepada bank syariah dalam kurun waktu tertentu sebagai reward karena telah menggunakan barang tertentu (misal rumah atau mobil).

Dalam skema ijarah wa iqtina, bank kemudian menyerahkan kepemilikan barang tersebut kepada nasabah setelah berakhir masa sewanya.

Pada skema musyarakah mutanaqishah, bank dan nasabah sama-sama berkontribusi modal dalam pembelian barang (misal rumah). Katakan, proporsi modal bank 80 persen dan nasabah 20 persen. Dengan pola ini, maka rumah tersebut menjadi milik bersama.

Kemudian nasabah diberikan hak untuk membeli proporsi kepemilikan bank secara bertahap dalam kurun waktu tertentu, sehingga prosentase kepemilikan nasabah terhadap rumah tersebut menjadi 100 persen. Wallahu a’lam bish-shawabi.*

Thursday, August 4, 2016

Makmum Sempat Ikut Ruku Bersama Imam, Apakah Dihitung Satu Rakaat?

Makmum Sempat Ikut Ruku Bersama Imam
TANYA: Dalam sebuah shalat berjamaah, seorang makmum tidak sempat membaca doa iftitah dan Al-Fatihah, karena imam sudah takbir untuk ruku'. Makmum tadi langsung mengikuti imam untuk ruku’, apakah itu akan dihitung satu rakaat/tidak?


Dalam kasus lain, makmum datang ke masjid. Didapatinya jamaah sedang ruku' bersama Imam, lalu makmum tadi takbiratul ihram sebagai tanda mulai shalat, lalu langsung ikut ruku', apakah dihitung mendapatkan satu rakaat bersama imam?

JAWAB: Jawaban ringkasnya: ya, makmum tersebut mendapatkan satu rokaat. Jika yang dimaksud adalah rokaat pertama, maka ia harus turut ikut salam atau mengakhiri shoalat bersama imam dan makmum lain yang shalat sejak awal bersama imam

Berbagai keterangan menyebutkan demikian. Seorang makmum yang sempat mengikuti ruku’ bersama imam, maka itu dihitung satu rakaat, meskipun dia tidak sempat membaca Al-Fatihah.

Bila seorang makmum datang ke masjid untuk shalat berjamaah dan mendapati imam dalam keadaan ruku’ bersama makmum lain, maka ma’mum yang baru datang itu harus langsung takbir, lalu ruku’ bersama imam, dan ia sudah dianggap mendapatkan rakaat dalam shalat berjamaah tersebut.

Dalam Shahih Bukhari terdapat hadits shahih dari Abu Bakrah As-Saqafi r.a. "Suatu hari dia masuk masjid dan Nabi Saw (beserta jama’ah) sedang ruku’. Lalu Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai shaf. Lalu (sambil ruku’) dia berjalan menuju shaf. (Setelah selesai shalat) Nabi bersabda kepadanya: Semoga Allah Ta’ala menambah semangatmu (dalam kebaikan), tapi jangan diulang lagi” (HR Abu Dawud).

Yang dimaksud “Tapi jangan diulang lagi” maksudnya jangan ruku’ sebelum masuk shaf (barisan).

Menurut ulama asal Arab Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, dalam Fatawa bin Baaz, disyari’atkan bagi seorang mukmin untuk berjalan menuju jama’ah dengan tenang, tidak tergesa-gesa, walaupun saat itu imam sedang ruku’.

Jika dia masih berkesempatan mendapatkan ruku’nya imam, maka alhamdulillah, dan jika tidak keburu, maka dia menjadi masbuq --makmum yang tertinggal rakaat-- dan harus menambah satu raka’at lagi.

“Apabila seorang makmum mendapatkan ruku’nya imam, maka dia dianggap mendapat satu raka’at. Inilah pendapat yang benar dari jumhur ulama.” (Fatawa bin Baaz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).

Lalu bagaimana dengan hadits yang mewajibkan baca Al-Fatihah dalam tiap rakaat shalat: “Tidak ada sholat bagi siapa yang tidak membaca Al Fatihah”?

Sebagaimana dalam kasus Abu Bakrah di atas, ia hanya mendapatkan ruku’, Nabi Saw tidak memerintahkan Abu Bakrah untuk mengganti raka’at tersebut, hal ini menunjukkan bahwa rukun membaca Al-Fatihah gugur jika seseorang tidak mendapati imam kecuali sedang ruku’.

Berikut ini penjelasan deatai Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz saat ditanya : Saya masuk masjid dan saat itu jama’ah sedang ruku’. Apakah dalam keadaan seperti ini, saya harus membaca takbiratul ikhram dan takbir ruku’ (membaca dua takbir?). Dan haruskan saya membaca do’a iftitah?

Apabila seorang muslim masuk masjid dan imam sedang ruku’, maka dia harus ikut ruku bersama imam dengan dua kali takbir, yaitu takbiratul ihram kemudian dia berhenti, lalu takbir untuk ruku’ ketika dia membungkukkan badannya untuk ruku’. Dan dalam keadaan seperti ini, dia tidak usah membaca doa iftitah dan Al-Fatihah karena sempitnya waktu.

Dalam hal ini dia terhitung mendapat satu raka’at. Hal ini berdasarkan hadits Abu Bakrah As-Saqafi Radhiyallahu ‘anhu di dalam Shahih Bukhari.

“Bahwa pada suatu hari dia masuk masjid dan Nabi Saw (beserta para jama’ah) sedang ruku’. Lalu Abu Bakrah r.a. ruku’ sebelum sampai shaf. Kemudian (sambil ruku’) dia berjalan menuju shaf. (setelah selesai shalat) Nabi bersabda kepadanya ; Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah semangatmu (dalam kebaikan) tapi jangan diulang lagi” [HR Abu Dawud ]

Rasulullah Saw tidak menyuruh Abu Bakrah menambah satu rakaat lagi. Hal ini menunjukkan, orang yang masuk dalam shalat jama’ah ketika imam sedang ruku’, dia dihitung mendapat satu raka’at.

Hal itu juga menunjukkan, kita tidak boleh ruku’ sendirian di belakang shaf. Tapi harus masuk dulu ke dalam shaf, baru kita ruku’, walaupun hal ini bisa menyebabkan kita tertinggal (dari ruku’nya imam).


Jika seorang makmum terlambat bergabung dalam shalat berjamaah. Diperkirakan imam tidak lama lagi akan segera ruku', maka seorang makmum hendaknya langsung membaca Al-Fatitah setelah takbirotul ihram, tidak usah membaca doa iftitah yang hukumnya sunah.

Jika bacaan Al-Fatihah belum selesai, sedangkan imam sudah ruku', maka makmum tadi tidak usah menyelesaikan bacan, tapi langsung ikut ruku' bersama imam dan itu sudah dihitung satu rakaat.

Prinsip dalam shalat berjamaah a.l. makmum harus mengikuti imam, sebagaimana ditegaskan dalam hadits shahih:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا

“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka janganlah kalian menyelisihi imam. Jika imam takbir, maka bertakbirlah kalian. Dan jika imam ruku’, maka ruku’lah kalian” (HR Bukhari 680 dan Muslim 622).

Demikian ulasan tentang hukum makmum yang sempat ruku bersama imam dalam shalat berjamaah dihitung satu rokaat. Wallahu a'lam bish-shawabi. (Sumber: Shahihain, Fiqh Sunnah, dan Fatawa bin Baaz Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).*