TANYA: Apakah Rasulullah melakukan sholat sunat Dhuha tiap hari?
JAWAB: Tidak. Belum ditemukan keterangan atau riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw medawamkan atau membiasakan shalat sunah Dhuha setiap hari.
Hanya disebutkan, Rasulullah Saw sering melaksanakan Shalat Dhuha dan hukum shalat dhuha ini “sunah muakkadah” (sunah yang sangat dianjurkan).
Mu’adzah berkata: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah r.a.: “Apakah Rasulullah Saw sering mengerjakan shalat dhuha?” Ia menjawab: “Tentu, beliau sering mengerjakan shalat dhuha empat rakaat, bahkan lebih dari itu, seluang waktu yang diberikan Allah Ta'ala ” (HR. Muslim).
Abdullah bin Syaqiq pernah bertanya kepada Aisyah r.a. : "Apakah Rasulullah SAW melaksanakan sholat dhuha ?" Ia menjawab: "Tidak, kecuali jika beliau pulang dari berpergian" (HR. Bukhari, Muslim, Malik, Abu Daud, An-Nasa'i).
Dari Ka’ab bin Malik r.a., "Rasulullah SAW bila datang dari berpergian, beliau datang ke masjid dan melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian beliau duduk mengahadap para shahabatnya" (HR. Bukhari Muslim).
Apakah dengan Rasulullah Saw tidak Sholat Dhuha Tiap Hari kita juga tidak harus melakukannya tiap hari? Tidak begitu.
Sebagaimana tidak ada contoh shalat dhuha tiap hari, tidak ada juga larangan melaksanakan shalat sunah dhuha setiap hari. Jadi, kalo soal hukum shalat dhuha tiap hari, maka boleh (mubah). Status shalat dhuha sendiri “sunah muakkadah” (sunah yang sangat dianjurkan). Wallahu a’lam bis-shawabi.*
Sunday, May 31, 2015
Thursday, May 21, 2015
Hukum Kumandang Bacaan Quran di Masjid Sebelum Shalat Jumat
Hukum Kumandang Bacaan Al-Quran di Masjid Sebelum Shalat Jumat
TANYA: Di waktu menjelang shalat atau khutbah jumat, ada atau banyak masjid yang suka mengumandangkan atau memperdengarkan lantunan ayat suci Al-Quran via pengeras suara (speaker), tapi ada juga yang tidak. Mohon penjelasan, bagaimana hukumnya?
JAWAB: Masjid yang memperdengarkan lantunan ayat suci Al-Quran via pengeras suara sebelum masuk waktu shalat Jumat menganggapnya sebagai "pengingat" agar kaum Muslim bersiap-siap ke masjid untuk sholat Jumat atau mengingatkan umat Islam bahwa hari ini adalah hari Jumat.
Pengurus masjid yang tidak melakukannya menilai hal tersebut “mengada-ada” dan/atau khawatir hal itu "membuat tidak nyaman" warga sekitar masjid.
Sejauh ini, kami belum menemukan keterangan (dalil) yang menyebutkan hal tersebut dilakukan atau terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat.
Karenanya, sebagian ulama berpendapat, memperdengarkan bacaan Al-Quran sebelum adzan Jumat (juga adzan waktu shalat lainnya) dengan menggunakan pengeras suara, adalah hal yang diada-adakan atau "kreativitas" pihak masjid saja.
Hal itu memang akan mengganggu orang-orang yang sedang shalat sunat, membaca Al-Quran, berdzikir, dan berdoa sambil menunggu khotib naik mimbar di masjid. Di sisi lain, kita diperintahkan mendengarkan dengan baik jika ayat Quran dibacakan:
"Dan apabila dibacakan(kepadamu) ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat" (QS. Al-A'raf:204).
Diriwayatkan, Rasulullah Saw keluar menemui orang-orang yang sedang mengerjakan shalat, sementara suara mereka terdengar keras membaca Al-Quran, maka beliau bersabda:
“Sesungguhnya orang yang shalat itu bermunajat kepada Rabbnya, karenanya hendaklah dia memperhatikan dengan apa ia bermunajat. Dan janganlah sebagian dari kalian mengeraskan suara atas sebagian yang lain dalam membaca Al-Quran”. (HR. Malik, Ahmad, Al-Baihaqi).
Nabi Saw juga pernah menemui beberapa orang yang sedang shalat di bulan Ramadhan dan mereka mengeraskan bacaannya. Lalu beliau berkata pada mereka,
TANYA: Di waktu menjelang shalat atau khutbah jumat, ada atau banyak masjid yang suka mengumandangkan atau memperdengarkan lantunan ayat suci Al-Quran via pengeras suara (speaker), tapi ada juga yang tidak. Mohon penjelasan, bagaimana hukumnya?
JAWAB: Masjid yang memperdengarkan lantunan ayat suci Al-Quran via pengeras suara sebelum masuk waktu shalat Jumat menganggapnya sebagai "pengingat" agar kaum Muslim bersiap-siap ke masjid untuk sholat Jumat atau mengingatkan umat Islam bahwa hari ini adalah hari Jumat.
Pengurus masjid yang tidak melakukannya menilai hal tersebut “mengada-ada” dan/atau khawatir hal itu "membuat tidak nyaman" warga sekitar masjid.
Sejauh ini, kami belum menemukan keterangan (dalil) yang menyebutkan hal tersebut dilakukan atau terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat.
Karenanya, sebagian ulama berpendapat, memperdengarkan bacaan Al-Quran sebelum adzan Jumat (juga adzan waktu shalat lainnya) dengan menggunakan pengeras suara, adalah hal yang diada-adakan atau "kreativitas" pihak masjid saja.
Hal itu memang akan mengganggu orang-orang yang sedang shalat sunat, membaca Al-Quran, berdzikir, dan berdoa sambil menunggu khotib naik mimbar di masjid. Di sisi lain, kita diperintahkan mendengarkan dengan baik jika ayat Quran dibacakan:
"Dan apabila dibacakan(kepadamu) ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat" (QS. Al-A'raf:204).
Hukum Membaca Al-Quran Dekat Orang Shalat
Nabi Saw juga dengan tegas melarang mengeraskan suara dalam membaca Al-Quran di masjid karena akan mengganggu konsentrasi jamaah lain.Diriwayatkan, Rasulullah Saw keluar menemui orang-orang yang sedang mengerjakan shalat, sementara suara mereka terdengar keras membaca Al-Quran, maka beliau bersabda:
“Sesungguhnya orang yang shalat itu bermunajat kepada Rabbnya, karenanya hendaklah dia memperhatikan dengan apa ia bermunajat. Dan janganlah sebagian dari kalian mengeraskan suara atas sebagian yang lain dalam membaca Al-Quran”. (HR. Malik, Ahmad, Al-Baihaqi).
Nabi Saw juga pernah menemui beberapa orang yang sedang shalat di bulan Ramadhan dan mereka mengeraskan bacaannya. Lalu beliau berkata pada mereka,
أَيُّهَا النَّاسُ كُلُّكُمْ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ
"Wahai sekalian manusia. Kalian semua sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabbnya. Oleh karena itu, janganlah di antara kalian mengeraskan suara kalian ketika membaca Al Qur’an sehingga menyakiti saudaranya yang lain.” (HR. Abu Daud)
Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Dari sini (hadits di atas) tidak boleh bagi seorang pun mengeraskan bacaan Al-Qur’an-nya sehingga menyakiti saudaranya yang lain seperti menyakiti saudara-saudaranya yang sedang shalat.” (Majmu’ Al Fatawa). Wallahu a’lam bish-shawabi.*
Monday, May 18, 2015
Mayoritas Penghuni Neraka adalah Wanita
Apa Sebabnya Mayoritas Penghuni Neraka adalah Wanita?
IBNU Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Saya melihat ke dalam surga, (dan ternyata) kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir (miskin), dan saya melihat ke dalam neraka (dan ternyata) kebanyakan penghuninya adalah wanita."
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., diterangkan, Rasulullah Saw bersabda: "Saya melihat ke dalam surga (dan ternyata) kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir, dan saya melihat ke dalam neraka (dan ternyata) kebanyakan penghuninya adalah orang-orang kaya dari kaum wanita."
Dalam hadis shahih yang diriwayatkan Abdullah bin Umar r.a. diterangkan, Rasulullah Saw bersabda:
"Wahai para wanita, bersedekahlah dan banyak-banyaklah ber-istighfar karena sungguh aku melihat kalian (wanita) sebagai mayoritas penghuni neraka."
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka yang paling pandai bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa kami menjadi mayoritas penghuni neraka?"
Wanita itu pun bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agamanya itu?"
Nabi Saw menjawab, "Adapun kurang akal karena persaksian dua wantia menyamai persaksian satu orang laki- laki. Maka inilah yang dimaksud dengan kurang akal. Dan dalam beberapa hari kalian tidak shalat dan tidak berpuasa, maka inilah yang dimaksud dengan kurang agama."
Argumen lain --ini dalil aqli-- jumlah penghuni neraka lebih banyak wanita karena memang jumlah wanita di dunia lebih banyak dari pria. Demikian menurut berbagai data statistik yang diperkuat hadits Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat ialah hilangnya ilmu dan menyebarluaskannya kebodohan, maraknya perzinahan, diminumnya khamar, banyaknya perempuan dan sedikitnya laki-laki sehingga 50 wanita diurus oleh satu pria." (HR. Bukhari,Muslim, dan Tirmidzi). Di akhir zaman, jumlah wanita dibanding pria 50:1.
Kesimpulan
Mayoritas Penghuni Neraka adalah Wanita karena:
1. Jumlah kaum perempuan itu lebih banyak dari kaum pria.
2. Wanita Kurang Akal
3. Wanita Kurang Agama
Wallahu a'lam bish-shawabi.*
IBNU Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Saya melihat ke dalam surga, (dan ternyata) kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir (miskin), dan saya melihat ke dalam neraka (dan ternyata) kebanyakan penghuninya adalah wanita."
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., diterangkan, Rasulullah Saw bersabda: "Saya melihat ke dalam surga (dan ternyata) kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir, dan saya melihat ke dalam neraka (dan ternyata) kebanyakan penghuninya adalah orang-orang kaya dari kaum wanita."
Dalam hadis shahih yang diriwayatkan Abdullah bin Umar r.a. diterangkan, Rasulullah Saw bersabda:
"Wahai para wanita, bersedekahlah dan banyak-banyaklah ber-istighfar karena sungguh aku melihat kalian (wanita) sebagai mayoritas penghuni neraka."
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka yang paling pandai bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa kami menjadi mayoritas penghuni neraka?"
Rasulullah Saw menjawab, "Kalian banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suami. Aku tidak melihat manusia yang kurang akal dan agamanya yang dapat mengalahkan manusia yang berakal sempurna (suami) selain daripada kalian."
Wanita itu pun bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agamanya itu?"
Nabi Saw menjawab, "Adapun kurang akal karena persaksian dua wantia menyamai persaksian satu orang laki- laki. Maka inilah yang dimaksud dengan kurang akal. Dan dalam beberapa hari kalian tidak shalat dan tidak berpuasa, maka inilah yang dimaksud dengan kurang agama."
Argumen lain --ini dalil aqli-- jumlah penghuni neraka lebih banyak wanita karena memang jumlah wanita di dunia lebih banyak dari pria. Demikian menurut berbagai data statistik yang diperkuat hadits Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat ialah hilangnya ilmu dan menyebarluaskannya kebodohan, maraknya perzinahan, diminumnya khamar, banyaknya perempuan dan sedikitnya laki-laki sehingga 50 wanita diurus oleh satu pria." (HR. Bukhari,Muslim, dan Tirmidzi). Di akhir zaman, jumlah wanita dibanding pria 50:1.
Kesimpulan
Mayoritas Penghuni Neraka adalah Wanita karena:
1. Jumlah kaum perempuan itu lebih banyak dari kaum pria.
2. Wanita Kurang Akal
3. Wanita Kurang Agama
Wallahu a'lam bish-shawabi.*
Monday, May 11, 2015
Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif
Apa Hukum Mengamalkan Hadits Lemah atau Dhaif?
TANYA:
1. Bagaimana bisa ibadah sholat Awwabin yang haditsnya lemah masuk pada ibadah utama?
2. Bagaimana hukum memakai (mengalamkan) hadits dhoif?
JAWAB:
1. Tidak ada yang mengatakan atau memasukkan sholat awwabin --yaitu shalat sunat yang dikerjakan setelah Sholat Maghrib dan Ba'diyahnya (Ba'da Magrib)-- sebagai ibadah utama, karena haditsnya lemah (dhoif) menurut para ulama ahli hadits.
Menurut mayoritas ulama, tidak mengapa jika seseorang mengerjakan shalat setelah itu (Ba’diyah Maghrib)m dengan mengerjakan enam, delapan, sepuluh, atau lebih banyak raka'at lagi. Itu termasuk Fadlaiul A'mal (keutamaan ibadah).
2. Banyak ulama membolehkan mengamalkan hadits lemah (dhoif) sepanjang menyangkut amal sholeh ghair-mahdhoh, untuk keutamaan ibadah (fadhoilul a’mal).
Hal itu seperti dikatakan Imam An-Nawawi dalam Muqaddimah Hadits Arba`in-nya. Namun, hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil, apalagi untuk masalah "hukum positif" (hudud/pidana/perdata).
Sikap “paling aman” adalah tidak menjadikan hadits lemah sebagai rujukan sampai ditemukan hadits yang kuat (sahih/hasan), seperti pendapat Abu Bakar Ibnu ‘Arabi yang menolak sama sekali segala macam hadits dhoif, baik untukmenetapkan hukum maupun untuk memberi sugesti amal.
Contoh Hadits Dhoif
Menurut catatan sejumlah ulama ahli hadits, hadits-hadits yang populer di masyarakat berikut ini termasuk hadits dhoif karena perawinya ada yang dikenal pendusta atau sanad-nya terputus, tidak sampai kepada Rasulullah Saw:
Sumber: Syaikh Al-Albaniy, Adh-Dha’ifah, An-Nawawiy, Arba’in Nawawiyah; As-Sakhowiy, Al-Maqashid; Al-Qoul Asybah, Al-Hawi
TANYA:
1. Bagaimana bisa ibadah sholat Awwabin yang haditsnya lemah masuk pada ibadah utama?
2. Bagaimana hukum memakai (mengalamkan) hadits dhoif?
JAWAB:
1. Tidak ada yang mengatakan atau memasukkan sholat awwabin --yaitu shalat sunat yang dikerjakan setelah Sholat Maghrib dan Ba'diyahnya (Ba'da Magrib)-- sebagai ibadah utama, karena haditsnya lemah (dhoif) menurut para ulama ahli hadits.
Menurut mayoritas ulama, tidak mengapa jika seseorang mengerjakan shalat setelah itu (Ba’diyah Maghrib)m dengan mengerjakan enam, delapan, sepuluh, atau lebih banyak raka'at lagi. Itu termasuk Fadlaiul A'mal (keutamaan ibadah).
2. Banyak ulama membolehkan mengamalkan hadits lemah (dhoif) sepanjang menyangkut amal sholeh ghair-mahdhoh, untuk keutamaan ibadah (fadhoilul a’mal).
Hal itu seperti dikatakan Imam An-Nawawi dalam Muqaddimah Hadits Arba`in-nya. Namun, hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil, apalagi untuk masalah "hukum positif" (hudud/pidana/perdata).
Sikap “paling aman” adalah tidak menjadikan hadits lemah sebagai rujukan sampai ditemukan hadits yang kuat (sahih/hasan), seperti pendapat Abu Bakar Ibnu ‘Arabi yang menolak sama sekali segala macam hadits dhoif, baik untukmenetapkan hukum maupun untuk memberi sugesti amal.
Contoh Hadits Dhoif
Menurut catatan sejumlah ulama ahli hadits, hadits-hadits yang populer di masyarakat berikut ini termasuk hadits dhoif karena perawinya ada yang dikenal pendusta atau sanad-nya terputus, tidak sampai kepada Rasulullah Saw:
- “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”;
- “Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”;
- “Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an”;
- “Perselisihan umatku adalah rahmat”;
- “Barangsiapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Rabb-Nya”;
- “Perbanyak dzikir sampai dianggap gila”;
- “Keutamaan memakai sorban ketik sholat”; dll.
Demikian pandangan kami tentang Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawabi.*
Sumber: Syaikh Al-Albaniy, Adh-Dha’ifah, An-Nawawiy, Arba’in Nawawiyah; As-Sakhowiy, Al-Maqashid; Al-Qoul Asybah, Al-Hawi
Subscribe to:
Posts (Atom)