Friday, March 28, 2014

Humor dalam Ceramah: Jangan Sampaikan Cerita Bohong!

Humor dalam Ceramah
Kita sering mendengar ceramah ustadz humoris. Ia menyampaikan joke, cerita lucu, atau humor dalam ceramahnya. Namun, tidak jarang cerita lucu atau humor penceramah itu cerita rekaan. Padahal, Islam melarang umatnya agar jangan menyampaikan cerita bohong.

"Celaka bagi orang yang bercerita kepada satu kaum tentang kisah bohong dengan maksud agar mereka tertawa. Celakalah dia...celaka dia." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Coba saja simak cerita-cerita yang disampaikan sang ustadz. Banyak yang karangan, rekaan, alias bohong. Kita yakin, sebagai ustadz, ia tahu hadits shahih di atas. Namun, demi menghibur jamaah, ia langgar larangan Nabi Saw tersebut.

Humor dalam ceramah tidak mesti dengan sampaikan cerita bohong. Ada teknik humor dalam public speaking, misalnya "teori belokan mendadak" atau "plesetan". Tidak mesti  dengan berbohong.

Inti larangan Nabi Saw adalah jangan berdusta, sekalipun dimaksudkan untuk melucu atau menambah bumbu humor dalam ceramah. Lagi pula, seringnya jamaah justru hanya mengingat humor itu ketimbang substansi atau materi tausiyah sang penceramah. 

Dakwah memang harus mengasyikkan, tidak terlalu serius. Namun, tidak mesti pula berbohong agar lucu dan menjadi "favorit" jamaah. Kebanyakan da'i, penceramah, atau ustadz menjadi favorit karena lucunya, bukan karena kualitas materi ceramah atau kualitas sang da'i. Wallahu a'lam.

Bagaimana pendapat Anda?

Thursday, March 27, 2014

Sesudah Kesulitan Ada Kemudahan

Sesudah Kesulitan Ada Kemudahan
Sesudah kesulitan ada kemudahan adalah hukum Allah SWT yang pasti berlaku. Kesulitan tidak akan selamanya ada, tapi akan berganti dengan kemudahan. Demikian pula sebaliknya. Karenanya, jika kita sedang didera masalah, la takhof wa la tahzan --jangan takut dan bersedih karena tiap masalah pasti ada solusi dan setelah kesulitan ada kemudahan.

"Karena sesung­guhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan" (QS. Alam Nasyrah:5-6)

Tugas kita adalah ikhtiar (usaha), doa, dan tawakal (berserah diri pada Allah). Allah tak mungkin memberi beban yang melebihi kemampuan hamba-Nya.

"Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan batas kemampuannya. Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang diusahakannya. Dan mereka berkata, Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau kami berbuat salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami tanggung jawab seperti Engkau telah bebankan atas orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami janganlah Engkau membebani kami apa yang kami tidak kuat menanggungnya; dan ma’afkanlah kami dan ampunilah kami serta kasihanilah kami kerana Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir.” (QS. Al Baqarah:287).
Setiap Muslim yakin, Allah Ta’ala tidak akan selamanya memberi kesulitan karena ia pasti berlalu dan ditemukan kemudahan. Tugasnya “hanya” terus ikhtiar (berusaha), berdoa, lalu tawakkal atau menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Ia yakin, Dia pati memberi yang terbaik karena hanya Dia yang paling tahu setiap kebutuhan hamba-Nya.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Hasan. Suatu hari Nabi Muhammad Saw keluar rumah dalam keadaan senang dan dalam keadaan tertawa beliau bersabda:

"Satu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan, satu ke­sulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan, karena bersama kesulitan itu pasti terdapat kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu terdapat kemudahan.'"

Ibnu Duraid berkata: "Abu Hatim as-Sijistani mengumandangkan sya'ir untukku:

Jika hati telah menguasai keputusasaan
Dan sudah menjadi sempit oleh dada yang lapang.
Ia menginjak semua yang tidak disuka dan menjadi tenang,
Dan menancapkan kesulitan di beberapa tempat.
Dan untuk menyingkap mudharat, ia tidak melihat jalan
Dia mendatangimu dalam keadaan putus asa dari meminta bantuan
Yang diberikan oleh Yang Mahalembut lagi Maha Mengabulkan.
Dan setiap kejadian itu jika berakhir,
Maka akan membawa kepada kebahagiaan yang dekat.

Penya'ir lainnya mengungkapkan:
Tidak jarang musibah itu membuat sempit gerak pemuda,
dan pada sisi Allah jalan keluar diperoleh.
Lengkap sudah penderitaan. Dan ketika kepungannya mendominasi,
Maka terbukalah jalan, yang sebelumnya dia menduga musibah itu tiada akhir.

Maka, apa pun kesulitan atau masalah yang melanda, pasti berlalu, ada jalan keluar, berganti dengan kemudahan. Syaratnya, seperti disebutkan di atas: ikhtiar, doa, dan tawakal. Risalah Islam itu indah. Islam itu Mudah. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Sumber: Tafsir Ibnu Katsir

Sunday, March 23, 2014

Pengertian Wali Allah yang Sebenarnya

Pengertian Wali Allah - walisongo
Apakah seorang wali (wali Allah) itu harus seorang syekh atau orang yang pengetahuan agamanya luas? Apakah orang biasa bisa menjadi wali Allah? Apa pengertian wali yang sebenarnya?

JAWAB: Semua orang yang beriman dan bertakwa adalah Wali Allah (Waliyullah). Secara etimologi, kata wali artinya sahabat, teman, penolong, dekat; lawan dari kata ‘aduwwu (musuh).

Wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.” (QS. Yunus: 62-64).

Menurut Ibnu Katsir: Allah Ta’ala menginformasikan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah (Tafsir Ibnu Katsir).

Syaikh Ibnu Utsaimin juga menjelaskan, wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa, merealisasikan amal sholih… (Syarah Riyadhus Shalihin).

Ibnu Taimiyah: “Wali Allah hanyalah orang yang beriman kepada Rasulullah Saw, beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikuti secara lahir dan batin….” (Al-Furqon).

Tingkat “kewalian” dalam diri seseorang mukmin sesuai dengan tingkat keimanannya. Para wali Allah yang paling tinggi tingkat kewaliannya adalah para nabi dan rasul.

Menurut Imam Asy-Syafi'i: "Jika kalian melihat seseorang yang mampu berjalan di atas air dan terbang di angkasa, maka janganlah kalian tertipu olehnya, sehingga kalian serahkan urusannya kepada Al-Qur'an dan As-Sunah. (Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah).

Maksudnya, jika tingkah laku sehari- hari orang tersebut sesuai dengan dengan Al Qur'an dan As Sunah, maka ia adalah seorang wali Allah, tetapi jika tidak sesuai, maka ia adalah seorang wali setan.

Wali yang kita kenal antara lain Wali Songo (Wali Sembilan), yaitu para ulama, da'i, atau penyebar Islam di tanah Jawa. Mereka menolong agama Allah dengan menyebarkan risalah Islam. Mereka juga ditolong Allah sehingga menjadi manusia mulia dalam pandangan manusia (umat Islam) dan pandangan Allah SWT.

Demikianlah pengertian wali yang sebenarnya. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Tuesday, March 11, 2014

Hukum Pacaran dalam Islam

Hukum Pacaran dalam Islam
PACARAN adalah jalinan hubungan cinta-kasih atau hubungan asmara antara dua orang. Satu sama lain sang mencintai, menyukai, dan menyayangi. Pacaran biasanya merupakan awal untuk memasuki gerbang pernikahan. Tapi, bagaimana hukum pacaran dalam Islam?

Risalah Islam tidak mengenal istilah pacaran, jika yang dimaksud adalah pacaran seperti muda-mudi masa kini --jalan berduaan, berkhalwat, bahkan "lebih" dari itu --mengikuti hawa nafsu. Islam mengharamkan "model" pacaran berdasarkan ayat:

“Dan janganlah kamu mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)” (QS. Al-Isra:32).

Pacaran dalam pengertian umum adalah pria-wanita belum menikah, saling cinta, sering berdua-duan tanpa muhrim, dan menyepi (khalwat), dan sebagainya. Pacaran demikian tergolong “mendekati zina”, dan jelas tidak boleh (haram) karena membuka pintu-pintu zina.

”Tidaklah diperkenankan bagi laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat (berduaan), karena sesungguhnya ketiga dari mereka adalah syetan, kecuali adanya mahram”. (HR Ahmad dan Bukhari Muslim).

Konsep Ta'aruf

Dalam Islam, untuk memasuki gerbang pernikahan, hanya dikenal konsep ta’aruf (berkenalan), yakni mengenali sosok dan karakter calon pasangan, misalnya lewat keluarga atau teman dekatnya, juga melihat wajahnya ketika benar-benar hendak dipinang/dilamar.

Islam menetapkan etika pergaulan dalam Islam, di antaranya:

  1. Saling menjaga pandangan di antara laki-laki dan wanita
  2. Tidak boleh melihat aurat
  3. Tidak boleh memandang dengan nafsu dan tidak boleh melihat lawan jenis melebihi apa yang dibutuhkan. (An-Nur:30-31).
  4. Wanita wajib memakai pakaian yang sesuai dengan syari’at, yaitu pakaian yang menutupi seluruh tubuh selain wajah, telapak tangan dan kaki (An-Nur:31)

Dengan demikian, hukum pacaran dalam Islam TERLARANG. Dalam risalah Islam tidak dikenal istilah pacaran. Yang ada, ta’aruf (saling mengenal) dan khitbah (meminang untuk dinikahi). Wallahu a’lam bish-shawabi.*

Monday, March 3, 2014

Hukum Istri Membentak Suami menurut Islam

Hukum Istri Membentak Suami
Assalamu'alaikum. Bagaimana hukumya seorang istri membentak suami, dengan bersuara keras, jika suami itu salah? Berdosakah istri tersebut?

JAWAB: Wa’alaikum salam wr. Wb. Tidak boleh. Suami adalah orang yang paling harus ditaati dan dihormati sorang istri. Rasulullah Saw menunjukkan betapa tinggi posisi suami bagi istri dengan sabdanya:

“Seandai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri utk sujud kepada suaminya.” (HR Abu Daud, Al-Hakim, At-Tirmidzi).

“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya...” (HR. Ahmad).

"Dan sebaik-baik istri adalah yang taat kepada suaminya, bijaksana, berketurunan, sedikit bicara, tidak suka membicarakan sesuatu yang tidak berguna, tidak cerewet dan tidak suka bersuara hingar-bingar serta setia kepada suaminya."

Keridhoan suami menjadi keridhoan Allah. Istri yang tidak diridhoi suaminya karena tidak taat dikatakan sebagai wanita yang durhaka dan kufur nikmat. Suatu hari Rasulullah Saw bersabda bahwa beliau melihat wanita adalah penghuni neraka terbanyak. Seorang wanita pun bertanya kepada beliau mengapa demikian? Rasulullah pun menjawab bahwa di antarannya karena wanita banyak yang durhaka kepada suaminya. (HR Bukhari dan Muslim).

Jika suami berbuat salah, sang istri mengingatkannya dengan baik, lemah lembut, tidak membentak (bersuara keras), dan tidak menyinggung perasaannya. Demikian pula sebaliknya.

Sikap kasar istri terhadap suami –dan sebaliknya-- menandakan keburukan akhlak. “Sebaik-baiknya wanita — bagi suami — ialah yang menyenangkan ketika dilihat, patuh ketika diperintah, dan tidak menentang suaminya baik dalam hatinya dan tidak membelanjakan (menggunakan) hartanya kepada perkara yang dibenci suaminya” (H.R. Ahmad, An-Nasa-i , dan Al-Hakim).

Seorang suami harus berusaha menasihati istrinya. Kalau dibiarkan, dampaknya sangat tidak baik bagi suami dan anak-anak. Wallahu a’lam bish-shawabi.*

Hukum Zakat kepada Keluarga dan Karyawan Sendiri

Hukum Zakat kepada Keluarga dan Karyawan Sendiri
Assalamu'alaikum. Bagaimana hukum memberikan zakat kepada keluarga sendiri, yaitu saudara/i, dan karyawan sendiri? Mengingat saudara-saudara saya belum punya pekerjaan tetap, ada juga yang pengangguran?

Saya pernah mendengar, zakat itu bagusnya diberikan kepada orang-orang terdekat kita dulu tentunya yang kekurangan, betulkah? Mohon penjelasan.

JAWAB: Wa’alaikum salam. Pada dasarnya, siapa pun yang tergolong kaum dhuafa (fakir-miskin) termasuk mustahiq atau orang yang berhak menerima zakat.

Namun, saudara (kerabat) dan karyawan yang tidak mampu (dhuafa), tentunya menjadi tanggung jawab Anda untuk memberi nafkah secara memadai. Jadi, kewajiban Anda bukan memberi zakat kepada mereka, tapi menafkahi mereka atau sedekah buat mereka.

Diperbolehkan menyalurkan zakat kepada kerabat yang bukan tanggungan langsung (anak-istri, kedua orangtua/mertua), seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, dan bibi, dengan syarat: mereka tergolong mustahiq zakat --dalam keadaan membutuhkan (dhuafa, fakir, atau miskin).

Nafkah karyawan Anda termasuk orang yang menjadi tanggung jawab Anda. Karenanya, zakat tidak boleh diberikan kepada mereka, meskipun tergolong dhuafa (fakir-miskin). Namun, bukankah menjadi kewajiban Anda untuk menggaji mereka secara layak (memadai) sehingga tidak menjadi dhuafa?

Dari Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Bersedekahlah. " Lalu seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar? Beliau bersabda: "Bersedekahlah pada dirimu sendiri." Orang itu berkata: Aku mempunyai yang lain. Beliau bersabda: "Sedekahkan untuk anakmu." Orang itu berkata: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: "Sedekahkan untuk istrimu." Orang itu berkata: Aku masih punya yang lain. Beliau bersabda: "Sedekahkan untuk pembantumu (karyawanmu)." Orang itu berkata lagi: Aku masih mempunyai yang lain. Beliau bersabda: "Kamu lebih mengetahui penggunaannya. " (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)

Menurut QS. At-Taubah:58-60, mereka yang berhak meneria zakat adalah Fakir dan Miskin,  Amil zakat (lembaga zakat),  mualaf, untuk memerdekakan budak,gharimun (orang yang berutang), fi sabilillah (yang berjuang di jalan Allah), Ibnu Sabil (musafir) yang tertimpa musibah dalam bekalnya.

Ringkasnya, dalam kasus Anda, zakat boleh diberikan kepada mereka selama mereka bukan menjadi tanggungan langsung Anda. Namun, sebaiknya Anda bersedekah saja buat mereka, sedangkan zakat diberikan kepada kaum dhuafa lainnya. Itu lebih baik dan lebih memuliakan saudara-saudara Anda yang tergolong dhuafa tersebut.

Demikian pula, dibolehkan memberikan zakat kepada karyawan sendiri, namun lagi-lagi sebaiknya naikkan gaji mereka, atau sedekah saja buat mereka, dan zakat diberikan kepada dhuafa lain. Itu lebih memuliakan mereka dan kemuliaan Anda juga. Barokallah.... Wallahu a’lam bish-shawabi.*