Monday, February 17, 2014

Ketentuan Shalat Jama’-Qoshor

Ketentuan Shalat Jama’-Qoshor
Adanya ketentuan shalat Jama’ dan Qoshor merupakan salah satu rahmat (kasih sayang) Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, juga menunjukkan betapa luwes (fleksibel) dan mudahnya ajaran Islam itu. Islam tidak kaku, tidak rigid.

Shalat Jama’ yaitu menggabungkan dua waktu shalat dalam satu waktu, yakni Shalat Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dan Isya’.

Shalat Qoshor yaitu meringkas rakaat dari empat menjadi dua. Shalat Qoshor tidak berlaku bagi shalat Magrib dan Subuh. Zhuhur, Ashar, dan Isya jadi dua rakaat; Maghrib tetap tiga rakaat, Subuh tetap dua rakaat.

Syarat Shalat Jama’
1. Uzur, seperti sakit dan hujan lebat
2. Ada keperluan mendesak (darurat)
3. Musafir, menempuh perjalanan jauh, keluar kota, atau meninggalkan kampung halaman.

Soal jarak tidak ada ketetapan dari Rasul, namun para ulama menyebutkan jarak lebih dari 15 Km, 25, Km, 81 km, 88 Km, dan antara 80-90 Km, juga tiga mil. Tinggal di luar kampung halaman untuk sementara, boleh Jama’.

Rasulullah Saw pernah mengakhirkan sholat waktu Perang Tabuk --shalat Zhuhur dan Ashar secara jama’, juga Maghrib dan Isya (HR. Imam Malik dan Tirmidzi). Rasulullah Saw mengerjakan sholat dua rakaat (qoshor) jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau tiga farsakh.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Baihqi). Tiga farskah = sekitar 25,92 Km.

“Rasulullah Saw pernah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga menjama’ Maghrib dan Isya.” (HR Bukhari).

“Nabi Saw pernah menjama’ shalat Maghrib dan Isya suatu malam yang diguyur hujan lebat.” (HR. Bukhari).

“Rasulullah Saw jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat.” (HR Muslim).

Perjalanan 16 farsakh (81 km) menurut ulama madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali dibolehkan memilih antara mengerjakan shalat qoshor atau jama’. Rasulullah Saw pernah melakukan gabungan jama’ dan qashar sekaligus. Pendapat ini juga merupakan fatwa para ulama, termasuk Syaikh Abdul Aziz bin Baz.

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu…” (QS. An-Nisaa’:101).

’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu Saw empat raka’at bila hadhar (mukim) dan dua raka’at bila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).

Anas bin Malik r.a.: “Kami pergi bersama Rasulullah Saw dari kota Madinah ke kota Makkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syarat Shalat Qoshor
Shalat Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir --dekat ataupun jauh-- karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu.

Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 Km. Sekitar 80 atau 90 Km --pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad. (Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin).

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al-Khalafi).

Rasulullah Saw pernah menjama’ara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain: tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas, ia menjawab: ”Rasulullah Saw tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim).

Tentang niatnya, niat itu ada dalam hati (‘amaliah qolbiah), sehingga tidak harus dilafalkan. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Sunday, February 16, 2014

Bekerja dalam Islam Bernilai Ibadah

bekerja itu ibadah
BEKERJA mencari nafkah bagi diri dan keluarga, dalam Islam dinilai sebagai ibadah. Rasulullah Saw menyebutnya "fi sabilillah", di jalan Allah. Dengan demikian, jika seorang Muslim yang bekerja, maka ia berada di jalan-Nya.

Diriwayatkan, beberapa orang sahabat melihat seorang pemuda kuat yang rajin bekerja. Mereka pun berkata mengomentari pemuda tersebut, “Andai saja ini (rajin dan giat) dilakukan untuk jihad di jalan Allah.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menyela mereka dengan sabdanya, “Janganlan kamu berkata seperti itu. Jika ia bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menafkahi kedua orang-tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, maka ia pun di jalan Allah. Namun jika ia bekerja dalam rangka riya atau berbangga diri, maka ia di jalan setan.” (HR. Thabrani).

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mukl [67]: 15)

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10)

Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, “Diriwayat-kan dari sebagian salaf bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang membeli atau menjual sesuatu pada hari jumat setelah shalat, Allah akan memberkahi untuknya 70 kali.”

Nabi Saw bersabda, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari pekerjaan tangannya sendiri.” (HR Bukhari).

Agar Bekerja Bernilai Ibadah
Agar bekerja dinilai ibadah oleh Allah, Islam memberikan panduannya sebagai berikut.

Pertama, pekerjaan yang dijalani harus halal dan baik. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah [2]: 172).

Kedua, bekerja dengan profesional dan penuh tanggungjawab. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk sekedar bekerja, akan tetapi mendorong umatnya agar senantiasa bekerja dengan baik dan bertanggungjawab.

“Sesungguhnya Allah mencintai seorang diantara ka-lian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR Baihaqi)

"Sesungguhnya Allah mewajib-kan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR Muslim).

Ketiga, ikhlas dalam bekerja, yaitu meniatkan aktifitas bekerjanya tersebut untuk mencari ridho Allah dan beribadah kepada-Nya.

“Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari Muslim).

Keempat, tidak melalaikan kewajiban kepada Allah, seperti shalat, zakat, dan puasa. Sibuk bekerja tidak boleh sampai membuat kita meninggalkan kewajiban sebagai Muslim. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Monday, February 3, 2014

Hukum Merayakan Hari Valentine bagi Umat Islam

Hukum Merayakan Valentine bagi Umat Islam
Valentine’s Day (Hari Valentine) adalah Peringatan Kematian Pendeta St. Valentine. Menurut Ensiklopedi Katolik (Catholic Encyclopaedia 1908), istilah Valentine yang disadur dari nama “Valentinus”  merujuk pada tiga martir atau santo  (orang suci dalam Katolik) yang berbeda: seorang pastur di Roma, uskup  Interamna, dan seorang martir di Provinsi  Romawi Africa (Wikipedia).

Hubungan antara tiga santo tersebut  terhadap perayaan V alentine atau “hari  kasih sayang” tidak memiliki catatan  sejarah yang jelas. Bahkan, Paus  Gelasius II tahun 496 M menyatakan, sebenarnya tidak ada hal yang diketahui  dari ketiga santo itu.

Tanggal 14 Februari dirayakan  sebagai peringatan santa Valentinus sebagai upaya mengungguli hari raya
Lupercalica (Dewa Kesuburan) yang dirayakan tanggal 15 Februari. Beberapa sumber menyebutkan, jenazah santo Hyppolytus yang diidentifikasi sebagai jenazah santo Valentinus diletakkan dalam sebuah peti emas dan dikirim ke gereja Whiterfiar Street Carmelite Churc di Dublin Irlandia oleh Paus Gregorius XVI
tahun 1836.

Sejak itu, banyak wisatawan yang  adalah nama seorang paderi, Pedro St. Valentino.

Tanggal 14 Februari 1492 adalah hari kejatuhan Kerajaan Islam Spanyol. Jadi, tumbangnya kerajaan Islam di Spanyol dirayakan sebagai Hari Valentine.

ULAMA kenamaan, Ibnul Qayyim, berkata: “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan “Selamat hari raya!” dan semisalnya.

Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyembah Salib.

Bahkan, perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut.”

Catatan pertama dihubungkannya hari raya Santo V alentinus dengan cinta berziarah ke gereja ini pada tanggal 14 Februari. Pada tanggal tersebut sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.

Literatur lain menyebutkan, tanggal 14 Februari 270 M, St. V alentine dibunuh karena pertentangannya (pertelingkahan) dengan penguasa Romawi, Raja Claudius II (268 – 270 M). Untuk mengagungkan St. Valentine yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cobaan,
maka para pengikutnya memperingati kematian St. V alentine sebagai “upacara keagamaan”.

Tetapi sejak abad 16 M, ‘upacara  keagamaan’tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi ‘perayaan bukan keagamaan’. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari.

Setelah orang-orang Romawi itu masuk Kristen, pesta “supercalis” kemudian dikaitkan dengan upacara
kematian St. V alentine. Penerimaan upacara kematian St. V alentine sebagai ‘hari kasih sayang’ juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropah bahwa waktu ‘kasih sayang’ itu mulai bersemi ‘bagai
burung jantan dan betina’pada tanggal 14 Februari.

Dalam bahasa Prancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata “Galentine” yang bererti ‘galant atau cinta’. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berpikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya tanggal 14 Februari.

Dipercayai 14 Februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sang sastrawan Inggris pertengahan ternama Geoffrey Chaucer pada abad ke-14. Ia menulis di cerita Parlement of Foules (Percakapan Burung-Burung):

For this was sent on Seynt Valentyne’s day (“Untuk inilah dikirim pada hari Santo Valentinus”)
When every foul cometh there to choose his mate (“Saat semua burung datang ke sana untuk memilih 
pasangannya”).

Pada zaman itu bagi para pencinta sudah lazim untuk bertukaran catatan pada hari ini dan memanggil pasangan mereka “Valentine” mereka. Sebuah kartu Valentine yang berasal dari abad ke-14 konon merupakan bagian dari koleksi pernaskahan British Library di London.

Menurut catatan Wikipedia, Hari Valentine kemungkinan diimpor oleh Amerika Utara dari Britania Raya, negara yang mengkolonisasi daerah tersebut.

Di Indonesia, budaya bertukaran surat ucapan antar kekasih juga mulai muncul. Budaya ini menjadi budaya
populer di kalangan anak muda. Bentuk perayaannya bermacam-macam, mulai dari saling berbagi kasih dengan pasangan, orang tua, orang-orang yang kurang beruntung secara materi, dan mengunjungi panti asuhan di mana mereka sangat membutuhkan kasih sayang dari sesama manusia.

Semua ulama di seluruh dunia bersepakat, umat Islam tidak boleh merayakan Valentine karena Valentina
adalah “ritual” atau “hari raya” non-Muslim yang harus kita hormati tanpa harus turut merayakannya.

JELAS umat Islam dilarang merayakan Hari Valentine dengan cara apa pun. Valentine itu perayaannya kaum Katolik. Kita hormati keyakinan mereka, namun tidak boleh ikut merayakannya.

Para pemuka agama Islam di seluruh dunia dari golongan dan gerakan Islam mana pun telah sepakat bahwa HARAM hukumnya bagi umat Islam untuk ikut-ikutan merayakan Hari Valentine dengan tingkat partisipasi sekecil apa pun, bahkan sekadar mengucapkan “Selamat Hari Valentine” atau “Happy Valentne”.

Rasulullah Saw dengan tegas melarang umat Islam untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut” (HR. At-Tirmidzi). Wallahu a’lam.*

Saturday, February 1, 2014

Hukum Puasa 40 Hari dalam Islam

Apakah puasa selama 40 hari ada ajarannya dari Rasul dan bolehkah kita mengamalkannya?

Puasa 40 hari pernah dilakukan Nabi Musa a.s. sebagai persiapan untuk menerima wahyu di bukit Turisina Mesir.

Ahli tafsir Imam Qurtubi memetik pendapat As-Syaabi dan Qatadah menerangkan, puasa 40 hari diamalkan umat Nabi Musa dan Nabi Isa. Menurut sejarah, Nabi Musa bersama kaumnya berpuasa selama 40 hari semasa berada di Bukit Tursina, Mesir.

Nabi Isa dan pengikut setianya mengamalkan puasa ala Nabi Musa dan kaumnya. Dalam surah Mariam dinyatakan, Nabi Zakaria dan Mariam sering mengamalkan puasa.

AJARAN KRISTEN
Amalam Nabi Isa tersebut kini menjadi ajaran agama Kristen. Dalam ajaran Kristen, Yesus Kristus (Nabi Isa a.s.) menjalankan puasa 40 hari.

Kini umat Kristen melaksanakan puasa 40 hari masa pra-Paskah, namun hanya berupa tidak memakan makanan tertentu, misalnya biasanya sehari-hari makan daging, selama 40 hari tidak makan daging. Yang biasanya masak dengan garam, selama 40 hari masak tidak memakai garam.

Dalam Islam, puasa 40 hari tidak dikenal atau tidak disyariatkan sehingga tidak ada ajarannya dari Rasulullah Saw.

Yang ada dan jelas dalilnya, adalah IBADAH SELAMA 40 HARI (namun tidak secara khusus menyebutkan ibadah puasa), sebagaimana hadits berikut ini:

“Barangsiapa mengikhlashkan dirinya kepada Allah (dalam beribadah) selama 40 hari maka akan zhahir sumber-sumber hikmah daripada hati melalui lidahnya”. (HR. Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam Al-Hilyah).

“Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah dengan mendapatkan Takbiratul pertama (takbiratul ihramnya imam), maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan.” (HR. Tirmidzi).

“Siapa yang menekuni (menjaga dengan teratur) shalat-shalat wajib selama 40 malam, tidak pernah tertinggal satu raka’atpun maka Allah akan mencatat untuknya dua kebebasan; yaitu terbebas dari neraka dan terbebas dari kenifakan.” (HR. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman). Wallahu a’lam bish-shawab.*