Monday, April 17, 2017

Hukum Tato dalam Islam

Hukum Tato dalam Islam
TANYA: Mohon dijelaskan hukum tato. Banyak artis di televisi membanggakan tatonya, khawatir ditiru anak-anak kita. Trims.

JAWAB:  Sebelum ke hukum tatao menurut Islam, kita lihat dulu referensi tentang Tato.

Tato (Inggris, tattoo; Arab, washm الوشم) adalah bentuk modifikasi tubuh manusia, dibuat dengan cara memasukkan tinta pada lapisan kulit untuk mengganti warna pigmen. 

Menurut Wikipedia, dalam bahasa Indonesia tato itu rajah. Rajah atau tato (bahasa Inggris: tattoo) adalah suatu tanda yang dibuat dengan memasukkan pigmen ke dalam kulit. Dalam istilah teknis, rajah adalah implantasi pigmen mikro.

Rajah dapat dibuat terhadap kulit manusia atau hewan. Rajah pada manusia adalah suatu bentuk modifikasi tubuh, sementara rajah pada hewan umumnya digunakan sebagai identifikasi. Rajah merupakan praktik yang ditemukan hampir di semua tempat dengan fungsi sesuai dengan adat setempat.

Rajah dahulu sering dipakai oleh kalangan suku-suku terasing di suatu wilayah di dunia sebagai penandaan wilayah, derajat, pangkat, bahkan menandakan kesehatan seseorang.

Ada pendapat, tato identik dengan pelaku kejahatan. Preman atau orang jahat memang banyak memakai tato di tubuhnya. Ada juga yang mengatakan, tato adalah seni, lambang ekspresi jiwa yang bebas.

Apa pun makna tato bagi penggunanya, dalam Islam tato itu haram. Umat Islam diharamkan bertato. Jika yang bertato itu non-Muslim, tentu bukan urusan Islam karena mereka bukan Muslim.


Tato diharamkan dalam Islam karena ia merusak tubuh, sekaligus merusak keindahan ciptaan Allah SWT. Keindahan tato hanya kata pemiliknya, pembuatnya, atau segelintir orang yang tidak paham hukumnya.

Dalam sebuah hadits riwayat Alqomah, Rasulullah saw bersabda, ”Allah Ta’ala melaknat orang-orang yang mentato dan yang minta ditato.” (HR. Bukhari).


لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ

"Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya, melakukan tato di wajahnya (mutawasshimah), menghilangkan rambut dari wajahnya, menyambung giginya, demi kecantikan, mereka telah merubah ciptaan Allah." (HR Bukhari).

Dalam Islam, tato terkait dengan tukang tato (wasyimah), pengguna tato (al mustausyimah), hukum tato, dan status wudhu dan mandi wajib (ghusl) serta status sah atau tidaknya shalat pemakai tato.

Tato termasuk perbuatan mengubah atau merusak ciptaan Allah Swt serta menjadikan di tempat tato itu najis dengan membekunya darah karena warna bahan tato itu.

Dalam kitab Al-Fiqhul Islam disebutkan, bila tato bisa dihilangkan dengan pengobatan, maka hal itu wajib dilakukan.

Namun, jika tidak memungkinkan kecuali dengan melukainya, maka bila hal itu tidak membawa bahaya yang berat atau cacat yang mengerikan pada anggota tubuh yang terlihat, seperti wajah dan kedua telapak tangan, maka menghilangkannya tidaklah wajib dan wajib baginya untuk bertobat.

Bila melukai (untuk menghilangkannya) tidak membahayakan, maka ia harus menghilangkan tato itu.

Menurut Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, kalau mungkin tato dihilangkan dengan pengobatan, maka wajib dihilangkan. Jika tidak memungkinkan kecuali dengan melukainya, di mana dengan itu khawatir berisiko kehilangan anggota badannya, atau kehilangan manfaat dari anggota badan itu, atau sesuatu yang parah terjadi pada anggota badan yang tampak itu, maka tidak wajib menghilangkannya. Dan jikalau bertobat ia tidak berdosa. Tapi kalau ia tidak mengkhawatirkan sesuatu yang tersebut tadi atau sejenisnya, maka ia harus menghilangkannya. Dan ia dianggap bermaksiat dengan menundanya. Sama saja dalam hal ini semua, baik laki-laki maupun wanita.”

Menurut Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari, membuat tato haram berdasarkan adanya laknat dalam hadits pada bab ini, … maka wajib menghilangkannya jika memungkinkan walaupun dengan melukainya. Kecuali jika takut binasa, (tertimpa) sesuatu, atau kehilangan manfaat dari anggota badannya maka boleh membiarkannya dan cukup dengan bertaubat untuk menggugurkan dosa. Dan dalam hal ini sama saja antara laki-laki dan wanita.”

Demikian hukum tato menurut Islam. Wallahu a’lam bish-shawabi.*

Tuesday, April 4, 2017

Bacaan Dzikir Setelah Shalat Fardhu Sesuai Sunnah Rasulullah Saw

Dzikir Usai Shalat Fardhu Sesuai Sunnah Rasulullah Saw
Bacaan Dzikir Setelah Shalat Fardhu Sesuai Sunnah Rasulullah Saw

TANYA: Mohon petunjuk, bagaimana dzikir setelah shalat fardu yang sesuai dengan contoh dari Nabi Muhammad Saw. Terima kasih.

JAWAB: Wa’alaikum salam wr. Wb.

Sebelum membahas dzikir usai shalat fardu (sholat wajib) sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw, sebelumnya harap diingat, dzikir usai shalat hukumnya sunnah, tidak wajib. Namun alangkah ruginya kita jika tidak berdzikir usai "dzikir akbar" (shalat) itu.

Dalam beberapa riwayat, a.l. HR. Muslim, disebutkan, setelah selesai atau mengucapkan salam dalam Shalat Fardhu, Nabi Muhammad Saw berdzikir.

Beliau Saw mengawalinya dengan:
  1. Istighfar (Astaghfirullaahal ‘azhim, aku memohon ampun kepada Allah Yang Mahaagung) sebanyak tiga kali
  2. Mengucapkan Allaahumma Antas Salaam, Waminkas Salaam, Tabaarakta Dzal Jalaalil Wal Ikraami (Ya Allah, Engkau adalah Dzat Pemberi Keselamatan, dan dari-Mu-lah segala keselamatan, Mahabesar Engkau Dzat Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan)."
أَسْتَغْفِرُ اللهَ (3x)

اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ

Astagh-firullah 3x
Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikrom.

Masih ada beberapa bacaan lain, sebagaimana tercantum dalam hadits shahih lainnya (HR. Muslim), yaitu bacaan tasbih (Subhanallah) sebanyak 33x, tahmid (Alhamdulillah) 33x, dan takbir (Allahu Akbar) 33x.  


سُبْحَانَ اللهِ (33 ×)

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ (33 ×)

اَللهُ أَكْبَرُ (33 ×)

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ


Subhanallah (33x)
Al hamdulillah (33x)
Allahu akbar (33 x)
Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.

Wallahu a’lam bish-shawabi.*