Kunci utama shalat khyusu' adalah kita mengerti atau memahami yang kita ucapkan selama shalat. Maka, mari pahami bacaan shalat, mulai takbir hingga salam.
SHALAT Khusyu' adalah sholat yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, fokus, dan menyadari sepenuhnya bahwa saat shalat kita sedang berhadapan dengan Allah SWT.
Khusyu' itu pekerjaan hati. Ali bin Abi Thalib ra meriwayatkan, Rasululullah Saw bersabda: "Khusyu' itu berada dalam hati" (HR. Hakim). Berikut ini sebagian kiat menggapai sholat khusyu:
PAHAMI BACAAN SHOLAT
Ini kunci sholat khusyu’. Anda akan benar-benar merasakan ’kehadiran’ Allah Swt jika memahami semua bacaan sholat, mulai takbir hingga salam.
Kita akan sadar betul, seluruh keperluan hidup kita sudah kita panjatkan pemenuhannya kepada Allah saat sholat, mulai ampunan hingga berkah, mulai hidayah hingga rezeki. Jika kita tidak memahami bacaan sholat, kita ’mengigau’ atau seperti burung beo, berkata tapi tidak mengerti perkataan sendiri.
Memahami bacaan sholat sangat membantu untuk menghindarkan lintasan-lintasan pikiran yang mengintervensi shalat kita.
FOKUS : MENGHADAP ALLAH SWT
Konsentrasikan hati dan pikiran hanya pada sholat. Bahkan jika hidangan makan sudah tersedia, makanlah dulu, baru sholat. "Apabila hidangan makan malam telah disiapkan, maka mulailah menyantap makanan itu sebelum Anda Shalat Maghrib" (HR. Bukhari dan Muslim).
Ingat, ketika kita sholat, kita sedang berhadapan dan ”berdialog” dengan Allah Swt.
Hasan bin Ali bin Abi Thalib terlihat pucat pasi saat berwudhu. Ketika ditanya penyebabnya, dia menjawab, “Tahukah Anda, dengan siapa aku akan berhadapan sesaat lagi?”
Pemutuskan hubungan dengan seluruh urusan yang sedang dihadapi, perbaharui ingatan akan hari akhirat, dan bayangkan bahwa kita sedang berdiri di hadapan Allah Yang Maha Agung.
JANGAN MENOLEH
Dari Aisyah ra berkata, "Saya bertanya kepada Rasulullah Saw tentang menoleh dalam shalat". Kemudian Rasul Saw menjawab:
"Menoleh itu adalah suatu keteledoran seseorang akibat ulah syetan dalam salat seorang hamba" (HR. Bukhari).
Menurut Jumhur Ulama', menoleh itu dimakruhkan, karena bisa mengurangi khusyu' shalat. Namun, jika menolehnya itu sampai memalingkan dadanya atau seluruh lehernya dari kiblat, maka hal itu bukan lagi makruh, melainkan bisa membatalkan shalat.
"Allah SWT selalu menghadap kepada seorang hamba dalam shalatnya, selama dia tidak menoleh, jika dia memalingkan wajahnya, maka Allah pun 'pergi'" (HR. Abu Dawud dan an-Nasa'i).
ANGGAP SHALAT TERAKHIR
Anggap saja setiap shalat kita adalah shalat yang terakhir, setelah itu kita akan mati. Jika proses ini berhasil kita lakukan, kita akan merasakan betapa tidak ada lagi kesempatan untuk sholat khusyu’.
Sholat terakhir adalah persembahan terakhir seorang hamba dalam melaksanakan perintah Allah Swt.
JANGAN GERAKKAN ANGGOTA TUBUH
Selama sholat, jangan menggerak-gerakan anggota badan di luar shalat, kecuali dalam keadaan sangat mendesak (darurat), misalnya membunuh binatang yang berbahaya atau mematikan api yang dikhawatirkan menyebabkan kebakaran.
Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Saw bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu berdiri shalat, maka janganlah menghapus pasir dari wajahnya karena ia sedang menghadapi rahmat.” (HR. Imam yang lima).
JAUHKAN GAMBAR
Jauhkan benda-benda yang bisa mengganggu konsentrasi, seperti gambar atau tulisan. Rasulullah Saw bersabda, “Jauhkanlah tirai ini karena gambarnya menggangguku ketika aku shalat.” (HR. Bukhari).
Kita pun harus mengenakan pakaian yang tidak bergambar atau berisi tulisan di bagian belakang (punggung), karena dapat mengganggu konsentrasi orang yang sholat di belakang kita.
BERPENGARUH
Tanda utama sholat khusyu adalah berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari, mulai selalu mengagungkan asma Allah (hikmah takbir) hingga menebar keselamatan kepada sesama, tidak mengganggu mereka dengan lidah dan dangan (hikmah salam). Sholat merupakan pencegah perbuatan keji dan munkar.
Demikian tips sholat khusyu' berdasarkan hadits. Semoga kita bisa melaksanakan sholat dengan khusyu' sehingga amal kita diterima di sisi-Nya. Amin...! Wallahu a’lam bish-shawabi. (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*
Wednesday, August 26, 2015
Wednesday, August 12, 2015
Jika Ditanya Apa Kabar, Jawablah Disertai Hamdalah
Hakikat Hamdalah --Alhamdulillahi Robbil 'Alamin-- Bukan Sekadar Ungkapan Syukur. Ditanya "apa kabar", jawablah "baik, alhamdulillah..."
HAMDALAH --kalimat thayibah berupa ucapan alhamdu lillahi robbil'alamin atau al-hamdu lillah yang berarti "segala puji hanya untuk Allah"-- merupakan ungkapan rasa syukur atau rasa terima kasih seorang Muslim atas atas karunia dan nikmat Allah SWT.
Karenanya, jika ada yang bertanya, apa kabar? Maka jawablah: baik, alhamdulillah. Selalu sertakan hamdalah! (Baca: Menjawab Pertanyaan Apa Kabar Menurut Islam)
Mengucapkan hamdalah merupakan ungkapan rasa syukur secara lisan, disertai ketulusan hati dan kesadaran bahwa semua nikmat yang diterima hakikatnya dari Allah SWT.
Kalimat lengkap hamdalah adalah Alhamdu lillahi robbil ‘alamin (QS. Al-Fatihah:2), artinya “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya, juga karena perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan.
Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan makin bertambah sempurna bila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan kepada-Nya.
Allah SWT dipuji atas keindahan nam-nama-Nya dan kebaikan perbuatan-Nya (QS. 14:39, 27:15,93).
Menurut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dalam Tafsir Al-Fatihah, alhamdu ialah “pujian secara lisan atas besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya”. Alhamdu itu lebih umum dari syukur karena mencakup kebaikan dan perbuatan baik-Nya. Allah terpuji atas nama-nama-Nya yang baik, Asmaul husnam, serta yang Allah ciptakan di awal dan di akhir.
“Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak” (Al-Israa:111). “Segala puji bagi Allah Yang menciptakan langit dan bumi” (Al-An’am:1).
Alif lam pada ucapan Al-Hamdu memberi makna penggabungan, yaitu segenap pujian kepada Allah semata dan tidak untuk selain-Nya. Maka setiap ucapan yang tidak dimaksudkan untuk makhluk, seperti penciptaan manusia, penciptaan pendengaran dan mata, langit dan bumi, rezeki, dan lainnya maka sudah jelas.
Itulah sebabnya, hamdalah diakhiri dengan Rabbil ‘alamin, artinya adalah "raja yang Maha Mengatur", raja segala sesuatu, dan Dia pula yang mengurus mereka.
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"” (QS. Yunus:31). Wallahu a’lam bish-shawab.*
HAMDALAH --kalimat thayibah berupa ucapan alhamdu lillahi robbil'alamin atau al-hamdu lillah yang berarti "segala puji hanya untuk Allah"-- merupakan ungkapan rasa syukur atau rasa terima kasih seorang Muslim atas atas karunia dan nikmat Allah SWT.
Karenanya, jika ada yang bertanya, apa kabar? Maka jawablah: baik, alhamdulillah. Selalu sertakan hamdalah! (Baca: Menjawab Pertanyaan Apa Kabar Menurut Islam)
Mengucapkan hamdalah merupakan ungkapan rasa syukur secara lisan, disertai ketulusan hati dan kesadaran bahwa semua nikmat yang diterima hakikatnya dari Allah SWT.
Kalimat lengkap hamdalah adalah Alhamdu lillahi robbil ‘alamin (QS. Al-Fatihah:2), artinya “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya, juga karena perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan.
Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan makin bertambah sempurna bila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan kepada-Nya.
Allah SWT dipuji atas keindahan nam-nama-Nya dan kebaikan perbuatan-Nya (QS. 14:39, 27:15,93).
Menurut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dalam Tafsir Al-Fatihah, alhamdu ialah “pujian secara lisan atas besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya”. Alhamdu itu lebih umum dari syukur karena mencakup kebaikan dan perbuatan baik-Nya. Allah terpuji atas nama-nama-Nya yang baik, Asmaul husnam, serta yang Allah ciptakan di awal dan di akhir.
“Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak” (Al-Israa:111). “Segala puji bagi Allah Yang menciptakan langit dan bumi” (Al-An’am:1).
Alif lam pada ucapan Al-Hamdu memberi makna penggabungan, yaitu segenap pujian kepada Allah semata dan tidak untuk selain-Nya. Maka setiap ucapan yang tidak dimaksudkan untuk makhluk, seperti penciptaan manusia, penciptaan pendengaran dan mata, langit dan bumi, rezeki, dan lainnya maka sudah jelas.
Pujian kepada makhluk hakikatnya pujian untuk Allah jua, selama disertai kesadaran semua makhluk adalah ciptaan-Nya.
Itulah sebabnya, hamdalah diakhiri dengan Rabbil ‘alamin, artinya adalah "raja yang Maha Mengatur", raja segala sesuatu, dan Dia pula yang mengurus mereka.
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"” (QS. Yunus:31). Wallahu a’lam bish-shawab.*
Monday, August 10, 2015
Bersentuhan dengan Istri, Batal Wudhu?
Bagaimana kalau kita sudah berwudhu' (wudu'/wudlu') atau bersuci dari hadats kecil, lalu bersentuhan dengan istri sendiri, apakah batal wudhunya?
JAWAB: Para ulama berbeda pendapat tentang masalah hukum bersentuhan kulit antara lelaki dengan wanita ajnabi (asing) --termasuk istrinya- termasuk di antara pembatal wudhu atau bukan.
Ringkasnya, ada tiga pendapat:
1. Batal.
2. Tidak Batal.
3. Batal jika disertai syahwat.
Sumber perbedaan pendapat (khilafiyah) ini dikarenakan perbedaan penafsiran di kalangan ulama terhadap ayat yang berbunyi :
أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ
“Atau kalian menyentuh wanita” (QS. An-Nisa:43), tepatnya makna lafadz ‘al-lams’ (menyentuh).
1. Tidak Membatalkan Wudhu
Ulama yang menyatakan bersentuhan dengan istri (wanita) tidak membatalkan wudhu', menafsirkan lafadz “menyentuh wanita” (laa mastumun nisaa) dalam ayat tersebut adalah bahasa majasi (kiasan), yakni berarti jima’ (berhubungan badan).
Menurut mereka, yang membatalkan wudhu itu jika berhubungan badan. Kalau sekadar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wudhu.
Istri Nabi Saw, Aisyah r.a., berkata, “Ketika Rasulullah Saw hendak menunaikan shalat, saya pernah duduk dihadapannya seperti jenazah, hingga apabila beliau hendak witir beliau menyentuh saya dengan kakinya.” (QS. An-Nasa-i).
“Pada suatu malam, saya (Aisyah) mendapati Rasulullah Saw tidak ada di tempat tidur. Lalu saya mencarinya dan saya memegang telapak kakinya dengan tangan saya pada waktu beliau berada di dalam masjid” (HR. Muslim).
Masih dari ‘Aisyah, beliau mengatakan, Nabi Saw pernah mencium sebagian istrinya, lalu ia pergi shalat dan tidak berwudhu. Seorang perawi (‘Urwah) berkata pada ‘Aisyah, “Bukankah yang dicium itu engkau?” Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa. (HR. Imam Ath Thobari).
"Tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat Nabi Saw yang berwudhu lagi hanya karena sekadar menyentuh istrinya" (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah).
2. Membatalkan Wudhu
Ulama yang berpendapat, bahwa menyentuh wanita --termasuk istri sendiri-- itu membatalkan wudhu’, menafsirkan kata “menyentuh” pada ayat di atas dengan makna dzahir-nya (tekstual), yakni menyentuh atau bersentuhan kulit dengan wanita/istri.
3. Batal Jika Disertai Syahwat
Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan tidak batal apabila tidak dengan syahwat.
Menurut Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, “Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan”.
Demikianlah bahasan ringkas seputar hukum apakah bersentuhan kulit dengan istri atau wanita membatalkan wudhu atau tidak. Wallahu a’lam bish-shawabi.*
JAWAB: Para ulama berbeda pendapat tentang masalah hukum bersentuhan kulit antara lelaki dengan wanita ajnabi (asing) --termasuk istrinya- termasuk di antara pembatal wudhu atau bukan.
Ringkasnya, ada tiga pendapat:
1. Batal.
2. Tidak Batal.
3. Batal jika disertai syahwat.
Sumber perbedaan pendapat (khilafiyah) ini dikarenakan perbedaan penafsiran di kalangan ulama terhadap ayat yang berbunyi :
أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ
“Atau kalian menyentuh wanita” (QS. An-Nisa:43), tepatnya makna lafadz ‘al-lams’ (menyentuh).
1. Tidak Membatalkan Wudhu
Ulama yang menyatakan bersentuhan dengan istri (wanita) tidak membatalkan wudhu', menafsirkan lafadz “menyentuh wanita” (laa mastumun nisaa) dalam ayat tersebut adalah bahasa majasi (kiasan), yakni berarti jima’ (berhubungan badan).
Menurut mereka, yang membatalkan wudhu itu jika berhubungan badan. Kalau sekadar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wudhu.
Istri Nabi Saw, Aisyah r.a., berkata, “Ketika Rasulullah Saw hendak menunaikan shalat, saya pernah duduk dihadapannya seperti jenazah, hingga apabila beliau hendak witir beliau menyentuh saya dengan kakinya.” (QS. An-Nasa-i).
“Pada suatu malam, saya (Aisyah) mendapati Rasulullah Saw tidak ada di tempat tidur. Lalu saya mencarinya dan saya memegang telapak kakinya dengan tangan saya pada waktu beliau berada di dalam masjid” (HR. Muslim).
Masih dari ‘Aisyah, beliau mengatakan, Nabi Saw pernah mencium sebagian istrinya, lalu ia pergi shalat dan tidak berwudhu. Seorang perawi (‘Urwah) berkata pada ‘Aisyah, “Bukankah yang dicium itu engkau?” Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa. (HR. Imam Ath Thobari).
"Tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat Nabi Saw yang berwudhu lagi hanya karena sekadar menyentuh istrinya" (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah).
2. Membatalkan Wudhu
Ulama yang berpendapat, bahwa menyentuh wanita --termasuk istri sendiri-- itu membatalkan wudhu’, menafsirkan kata “menyentuh” pada ayat di atas dengan makna dzahir-nya (tekstual), yakni menyentuh atau bersentuhan kulit dengan wanita/istri.
3. Batal Jika Disertai Syahwat
Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan tidak batal apabila tidak dengan syahwat.
Menurut Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, “Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan”.
Demikianlah bahasan ringkas seputar hukum apakah bersentuhan kulit dengan istri atau wanita membatalkan wudhu atau tidak. Wallahu a’lam bish-shawabi.*
Saturday, August 1, 2015
Hukum Tahlilan Menurut Islam
Hukum Tahlilan Menurut Islam masih terus jadi perdebatan dikarenakan sangat kuatnya tradisi "selamatan kematian" di masyarakat.
TAHLIL adalah lafadz atau mengucapkan kalimat tauhid Laa ilaaha illallaah yang artinya "tidak ada Tuhan selain Allah".
Tahlilan adalah sebutan Indonesia bagi acara membaca tahlil secara berjamaah atau bersama-sama, bisanya untuk "memperingati kematian" atau "selamatan" dengan berkumpul-kumpul di rumah duka (Wikipedia).
Kata tahlil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata: hallala, yuhallilu, tahlilan, yang berarti mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah.
Tahlilan dalam arti dzikir bersama dengan mengucapkan tahlil tersebut sudah ada di masa Rasulullah Saw.
"Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan tahlil itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar maruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dhuha." (HR. Muslim).
"Dari Abu Sa'id al-Khudriy radliallahu 'anhu, Mu'awiyah berkata: Sesungguhnya Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam pernah keluar menuju halaqah (perkumpulan) para sahabatnya, beliau bertanya: "Kenapa kalian duduk di sini?". Mereka menjawab: "Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah dan memuji-Nya sebagaimana Islam mengajarkan kami, dan atas anugerah Allah dengan Islam untuk kami". Nabi bertanya kemudian: "Demi Allah, kalian tidak duduk kecuali hanya untuk ini?". Jawab mereka: "Demi Allah, kami tidak duduk kecuali hanya untuk ini". Nabi bersabda: "Sesungguhnya aku tidak mempunyai prasangka buruk terhadap kalian, tetapi malaikat Jibril datang kepadaku dan memberi kabar bahwasanya Allah 'Azza wa Jalla membanggakan tindakan kalian kepada para malaikat". (HR. Ahmad, Muslim, At-Tirmidziy dan An-Nasa'iy).
"Dari Al-Agharr Abu Muslim, sesungguhnya ia berkata: Aku bersaksi bahwasanya Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudzriy bersaksi, bahwa sesungguhnya Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: "Tidak duduk suatu kaum dengan berdzikir bersama-sama kepada Allah 'Azza wa Jalla, kecuali para malaikat mengerumuni mereka, rahmat Allah mengalir memenuhi mereka, ketenteraman diturunkan kepada mereka, dan Allah menyebut mereka dalam golongan orang yang ada disisiNya". (HR. Muslim).
Ketiga hadits shahih di atas menunjukkan adanya aktivitas tahlilan atau dzikir bersama dengan kalimah laa ilaaha illallaah dalam sejarah Islam (sejak masa Nabi Muhammad Saw).
Ajaran Islam tidak mengenal "peringatan kematian". Memperingati kematian dengan tahlilan tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat.
Adakah hadits atau catatan sejarah yang menunjukkan Nabi Saw mengadakan "tahilan" di rumah beliau ketika Siti Khadijah dan putra-putra beliau meninggal dunia? Adakah riwayat bahwa ketika da sahabat meninggal lalu ada acara tahlilan di rumah duka?
Tradisi peringatan kematian "hari kesekian dan kesekian" adalah tradisi sebelum kedatangan Islam.
"...latar belakang tahlil itu memang awalnya merupakan budaya masyarakat Indonesia yang beragama non-Islam sebelum Islam masuk ke Nusantara ini. Namun karena di satu sisi nabi Muhammad Saw. khususnya Islam sendiri yang memiliki sifat menghargai (toleran), maka ekspansi Islam tidak dengan cara merusak dan meniadakan apa yang telah menjadi tradisi masyarakat non-Islam sebelumnya" (NU Online).
Islam melarang umatnya meratapi kematian. Sedangkan kumpul di rumah duka untuk tahlilan dinilai sebagai meratapi yang meninggal dunia.
"Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : " Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap". (Diriwayatkan Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab telah menjelaskan tentang bid'ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Hal ini pun ditegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145).
"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian)." [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i (I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)]
Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi)....“ [Al-Um I/317].
Biasanya, ketika hukum tahlil menurut Islam ini dijelaskan, maka para pelaku tahilan akan menyatakan ini "aliran wahabi/salafi" atau apalah. Mereka "balik menyerang" disertai amarah. Na'udzubillah min dzalik.
Demikian hukum tahlilan menurut Islam berdasarkan hadits dan ijtihad para ulama. Semoga kita tercerahkan. Amin...! (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*
Referensi: Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M.
TAHLIL adalah lafadz atau mengucapkan kalimat tauhid Laa ilaaha illallaah yang artinya "tidak ada Tuhan selain Allah".
Tahlilan adalah sebutan Indonesia bagi acara membaca tahlil secara berjamaah atau bersama-sama, bisanya untuk "memperingati kematian" atau "selamatan" dengan berkumpul-kumpul di rumah duka (Wikipedia).
Kata tahlil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata: hallala, yuhallilu, tahlilan, yang berarti mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah.
Tahlilan dalam arti dzikir bersama dengan mengucapkan tahlil tersebut sudah ada di masa Rasulullah Saw.
"Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan tahlil itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar maruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dhuha." (HR. Muslim).
"Dari Abu Sa'id al-Khudriy radliallahu 'anhu, Mu'awiyah berkata: Sesungguhnya Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam pernah keluar menuju halaqah (perkumpulan) para sahabatnya, beliau bertanya: "Kenapa kalian duduk di sini?". Mereka menjawab: "Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah dan memuji-Nya sebagaimana Islam mengajarkan kami, dan atas anugerah Allah dengan Islam untuk kami". Nabi bertanya kemudian: "Demi Allah, kalian tidak duduk kecuali hanya untuk ini?". Jawab mereka: "Demi Allah, kami tidak duduk kecuali hanya untuk ini". Nabi bersabda: "Sesungguhnya aku tidak mempunyai prasangka buruk terhadap kalian, tetapi malaikat Jibril datang kepadaku dan memberi kabar bahwasanya Allah 'Azza wa Jalla membanggakan tindakan kalian kepada para malaikat". (HR. Ahmad, Muslim, At-Tirmidziy dan An-Nasa'iy).
"Dari Al-Agharr Abu Muslim, sesungguhnya ia berkata: Aku bersaksi bahwasanya Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudzriy bersaksi, bahwa sesungguhnya Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam bersabda: "Tidak duduk suatu kaum dengan berdzikir bersama-sama kepada Allah 'Azza wa Jalla, kecuali para malaikat mengerumuni mereka, rahmat Allah mengalir memenuhi mereka, ketenteraman diturunkan kepada mereka, dan Allah menyebut mereka dalam golongan orang yang ada disisiNya". (HR. Muslim).
Ketiga hadits shahih di atas menunjukkan adanya aktivitas tahlilan atau dzikir bersama dengan kalimah laa ilaaha illallaah dalam sejarah Islam (sejak masa Nabi Muhammad Saw).
Namun, hadits-hadits tersebut tidak menyebutkan aktivitas tahlilan para sahabat itu dilakukan pada waktu tertentu atau untuk "memperingati kematian" sebagaimana dilakukan kalangan Muslim Indonesia.
Ajaran Islam tidak mengenal "peringatan kematian". Memperingati kematian dengan tahlilan tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat.
Adakah hadits atau catatan sejarah yang menunjukkan Nabi Saw mengadakan "tahilan" di rumah beliau ketika Siti Khadijah dan putra-putra beliau meninggal dunia? Adakah riwayat bahwa ketika da sahabat meninggal lalu ada acara tahlilan di rumah duka?
Tradisi peringatan kematian "hari kesekian dan kesekian" adalah tradisi sebelum kedatangan Islam.
"...latar belakang tahlil itu memang awalnya merupakan budaya masyarakat Indonesia yang beragama non-Islam sebelum Islam masuk ke Nusantara ini. Namun karena di satu sisi nabi Muhammad Saw. khususnya Islam sendiri yang memiliki sifat menghargai (toleran), maka ekspansi Islam tidak dengan cara merusak dan meniadakan apa yang telah menjadi tradisi masyarakat non-Islam sebelumnya" (NU Online).
Islam melarang umatnya meratapi kematian. Sedangkan kumpul di rumah duka untuk tahlilan dinilai sebagai meratapi yang meninggal dunia.
عَنْ جَرِيْربْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ : كُنَّا نَرَى (وفِى رِوَايَةٍ : كُنَا نَعُدُّ) اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ (بَعْدَ دَفْنِهِ) مِنَ الْنِّيَاحَةِ
"Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : " Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap". (Diriwayatkan Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab telah menjelaskan tentang bid'ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Hal ini pun ditegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145).
Yang dinyatakan sunah bukan tahlilan di mana tuan rumah menyediakan makanan untuk yang tahlil, tapi para tetanggalah yang memberikan makanan kepada keluarga yang tengah berduka.
"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian)." [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i (I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)]
Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi)....“ [Al-Um I/317].
Biasanya, ketika hukum tahlil menurut Islam ini dijelaskan, maka para pelaku tahilan akan menyatakan ini "aliran wahabi/salafi" atau apalah. Mereka "balik menyerang" disertai amarah. Na'udzubillah min dzalik.
Demikian hukum tahlilan menurut Islam berdasarkan hadits dan ijtihad para ulama. Semoga kita tercerahkan. Amin...! (http://inilahrisalahislam.blogspot.com).*
"Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui" (QS. Al Baqarah : 42)
Referensi: Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M.
Subscribe to:
Posts (Atom)