Tuesday, October 21, 2014

Menyikapi Tahun Baru Islam 1 Muharram Hijriyah

Menyikapi Tahun Baru Islam 1 Muharram Hijriyah
SETIAP kali kita memasuki Tahun Baru Islam 1 Muharam (Hijriyah), sebagai kaum Muslim kita dituntut menyikapi momentum tersebut dengan muhasabah (introspeksi diri).

Misalnya: Apakah ibadah atau amal saleh kita selama ini sudah memenuhi syarat untuk diterima oleh Allah SWT? Yaitu, dilandasi keimanan, ilmu, ikhlas, dan sesuai dengan sunah Rasul? Bekal amal saleh apa yang sudah kita miliki untuk kehidupan di akhirat kelak?

Benar, muhasabah harus kita lakukan sepanjang waktu, hari demi hari, bahkan detik demi detik. Tapi setidaknya, pergantian tahun baru Islam menjadi "momentum tahunan" muhasabah.

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri, mengevaluasi kembali apa yang telah dilakukan untuk hari esok (akhirat)..." (QS. Al-Hasyr: 18).

Menurut tafsir Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma'ani:

"Setiap perbuatan manusia yang telah dilakukan pada masa lalu, mencerminkan perbuatan dia untuk persiapan diakhirat kelak. Karena hidup di dunia bagaikan satu hari dan keesokan harinya merupakan hari akherat, merugilah manusia yang tidak mengetahui tujuan utamanya".

Umar bin Khottob mengatakan: Hasibu anfusakum qobla antuhasabu. "Evaluasilah (hisablah) dirimu sendiri sebelum kalian dihisab (di hadapan Allah kelak)".

Saat memasuki Tahun Baru Islam 1 Muharram atau Tahun Baru Hijriyah, kita juga harus memaknai peristiwa hijrah Rasulullah Saw dan para sahabat dari Makkah ke Madinah yang menjadi awal perhitungan kalender Islam (makanya disebut Kalender Hijriyah, dari kata hijrah).

Di Madinah, Rasul membangun tiga fondasi masyarakat Islami menuju daulah Islamiyah:

  1. Masjid, 
  2. Ukhuwah Islamiyah, 
  3. Perjanjian damai dengan semua warga Madinah (Piagam Madinah). 


Maka, mari makmurkan masjid, semarakkan aktivitas ibadah dan dakwah di dalamnya, eratkan ukhuwah sesama Muslim, dan kembangkan toleransi beragama tanpa merusak akidah.

Sabda Nabi Saw, Muhajir (orang yang berhijrah) dalam makna luas, adalah dia yang meninggalkan larangan Allah SWT. Al-Muhajiru man hajara ma nahallahu 'anhu.

Mari kita menyikapi Tahun Baru Islam 1 Muharram atau Tahun Baru Hijriyah dengan muhasabah dan hijrah kepada yang lebih baik, lebih Islami. Wallahu a'lam bish-shawabi.*

Saturday, October 4, 2014

Hukum Biaya Haji Pinjam dari Bank

Hukum Biaya Haji Pinjam dari Bank
Hukum Biaya Haji Pinjam dari Bank

Bagaimana hukumnya utk biaya ibadah haji pinjam dari bank wass. 02292641XXX

JAWAB: Untuk mendapatkan haji mabrur, kita harus menggunakan bekal yang halal. Lagi pula, jika sampai pinjam uang, bisa dikatakan belum wajib haji karena belum mampu; jadi jangan memaksakan pinjam, apalagi dari bank riba.

Syekh Ibnu Utsaimin ditanya, “Sebagian orang mengambil utang untuk menunaikah haji dari perusahaan tempat dia bekerja, pelunasannya dilakukan dengan cara memotong gajinya secara angsuran, bagaimana pendapat Anda dalam masalah ini?“

Beliau menjawab, “Menurut pandangan saya, dia tidak perlu berbuat demikian, karena seseorang tidak wajib menunaikan haji jika dia memiliki utang, apalagi halnya jika dia sengaja berutang untuk menunaikan haji? Maka menurut saya, sebaiknya jangan berutang untuk menunaikan haji; karena menunaikan haji dalam kondisi tersebut bukan merupakan kewajiban baginya, karenanya dia seharusnya menerima keringanan Allah, keluasan, dan kasih sayang-Nya.  Seseorang tidak dibebankan untuk berutang yang dia tidak tahu apakah dapat melunasi atau tidak? Boleh jadi dia meninggal sebelum melunasi sehingga dia masih memiliki tanggungan.” (Majmu Fatawa, Syekh Ibnu Utsaimin).

Jika meminjamnya dengan cara peminjaman riba untuk menunaikan haji, maka hal itu merupakan dosa yang sangat besar.  Sebagian ulama berkata,  jika engkau menunaikan haji yang asalnya haram, engkau pada hakikatnya tidak haji, tetapi yang haji hanyalah hewan tunggangannya.

Imam Nawawi berkata, “Jika seseorang menunaikan haji dengan harta yang haram, atau mengendarai hewan tunggangan hasil rampasan, maka dia berdosa, namun hajinya sah dan dianggap, menurut pendapat kami. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Al-Abdari, begitu pula pendapat sebagian besar para fuqoha. (Al-Majmu'). Wallahu a’lam bish-shawabi.*

Hukum Shalat Tidak Mengerti Bacaannya

Hukum Shalat Tidak Mengerti Bacaannya
Bgmn hukumnya org shalat, tapi tidak mengerti arti dan makna bacaan shalat? 085269605XXX


JAWAB: Hukumnya tetap sah secara fiqih, selama bacaannya benar dan memenuhi syarat dan rukun shalat.

Jadi, ketidakmengertian bacaan tidak ada kaitannya dengan sah-tidaknya shalat, karena tidak termasuk syarat sah dan rukun shalat.

Namun, jika kita shalat tidak mengerti makna bacaannya, alangkah ruginya kita, karena shalat kita tidak akan khusyu dan kita tidak ”berdialog” dengan Allah SWT.

Lagi pula, sebagian besar bacaan shalat itu berisi doa. Mungkinkan kita meminta sesuatu (berdoa) kepada Allah tanpa paham apa yang kita minta? Karenanya, mari kita pelajari dan pahami bacaan shalat, dari takbir hingga salam, agar shalat kita khusyu, berpengaruh pada perilaku, dan kita merasakan kenikmatan spiritual ”berdialog” dengan Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawabi.*